Kata hikmah dalam kitab ushul
didefinisikan sebagai berikut:
Al hikmah hiya al mashlahah allatii qashada
asy syaari’u min tasyrii’il hukmi tahqiiqaha aw takmiilaha, awil mafsadah
allatii qashada asy syaari’u daf’aha aw taqliilaha.
Sebagian ulama ada yang
mendefinisikan sebagai berikut:
Al hikmatu hiya al atsarul ladzii
yatarattabu ‘ala fi’li syai’in aw tarkihi.
Intinya hiikmah artinya adalah dampak yang timbul
dari mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu.
Sedangkan kata ‘illah secara bahasa
bisa bermakna penyakit dan bisa juga bermakna sebab atau alasan. Dalam kitab Al
Mustashfa Imam Al Ghazali mendefinisikan ‘illah sebagai berikut:
Hiya
maa adhaafahu asy syaari’u al hukma ilaihi wa naathahu bihi wa nashabahu
‘alaamatan ‘alaihi.
Dengan bahasa lain ‘illah itu adalah sebab kita
melakukan sesuatu, alasan kita melakukan sesuatu, atau sebab sesuatu itu
dinyatakan halal atau haram.
Contoh hikmah dalam terapan
ushulnya, misalnya firman Allah SWT: Innash shalaata tanha ‘anil fakhsyaa’i
wal munkar (Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah diri dari perbuatan keji
dan munkar). Jadi kalau kita mengerjakan
shalat secara benar, sesuai dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya,
maka dampak yang ditimbulkan dari shalat itu adalah mencegah kita dari
melakukan sesuatu yang keji dan munkar.
Contoh ‘illah dalam terapannya,
seperti bunyi ayat berikut: As saariqu was saariqatu faqtha’uu aidiyahuma
(laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah tangan
keduanya). Pencurian dijadikan sebab hukum potong tangan. Dan sabda Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam: Al qaatilu laa yaritsu (Orang yang
membunuh itu tidak mewarisi). So, pembunuhan dijadikan alasan kenapa si pembunuh
terhalang dari mewarisi harta orang yang dibunuhnya.
Hukum-hukum itu ada kalanya
dijelaskan ‘illahnya dan ada juga yang tidak. Misalnya, kenapa zakat itu wajib,
itu tidak ada ‘illahnya, tapi kalau ada dampak sosial yang timbul karena zakat,
itu namanya hikmah. Misalnya lagi mengapa babi itu najis dan haram dimakan. Itu
tidak ada penjelasan tentang ‘illah-nya, haramnya itu haram mutlak, murni
karena semata-mata ketetapan Allah SWT.
Maksudnya, babi itu katakan najis bukan
karena alasan-alasan ilmiyah, seperti babi itu dikatakan hewan yang kotor, mengandung banyak penyakit, cacing pita, virus dan sebagainya. Semua alasan itu mungkin saja benar, namun kenapa Allah SWT menetapkannya
sebagai hewan yang najis, tentu alasannya tidak ada kaitannya dengan hal-hal
semacam itu.
Faktanya, tidak sedikit orang di dunia ini yang memakan babi setiap harinya. Kalau
seandainya makan babi itu berbahaya dan merusak kesehatan, maka seharusnya
makan babi sudah dilarang oleh sekian banyak pemerintahan di dunia ini.
Namun kenyataannya berjuta manusia di dunia ini setiap hari aktif
mengkonsumsi babi sebagai makanan kesukaan mereka. Dan negeri-negeri yang
penduduknya banyak makan babi ternyata bukan negeri yang banyak orang sakitnya atau dilanda gizi buruk.
Maka alasan mengharamkan
babi karena hewan itu kotor dan mengandung penyakit dan sebagainya, tentu bukan alasan yang bersifat syar’i, mungkin dalam dunia medis alasan itu bisa
saja diterima. Hakikat najis dan
haramnya babi yang sebenarnya adalah semata-mata alasan syariah saja, yaitu karena Asy Syaari’ Allah SWT telah menetapkan bahwa babi itu najis dan haram dimakan.
Alasan bahwa
babi itu hewan yang najis juga bukan karena faktor perasaan atau pemikiran
filosofis. Misalnya ada yang bilang bahwa babi itu najis karena hewan itu menjijikkan, lantaran suka memakan kotorannya sendiri, hidup di
tempat jorok, tidak ada rasa cemburu dan sebagainya.
Bahwa babi
itu banyak membuat orang-orang merasa jijik, tidak perlu diperdebatkan lagi, karena
memang pada umumnya kehidupan babi seperti itu. Tetapi kenapa dianggap najis,
alasannya bukan semata-mata babi suka hidup jorok.
Sebab bisa
jadi nanti ada orang yang memelihara babi secara bersih, sehat, setiap pagi dan
sore dimandikan pakai sabun dan shampo dan dirawat di salon khusus hewan setiap hari, sehingga bulu-bulunya menjadi putih, bersih dan wangi
harum semerbak sepanjang hari, makanannya pun hanya dari makanan kaleng yang
higienis dan bermutu, apakah saat itu babi itu menjadi suci dan halal dimakan?
Jawabannya
tentu tidak. Sebab prinsipnya sekali babi tetap babi, selama-lamanya akan terus
menjadi babi. Dan hukumnya sesuai dengan ketentuan dari Allah, bahwa babi itu secantik dan
selucu apapun tetap saja hewan yang najis dan
haram dimakan. Itulah hakikat kenajisan babi dalam kacamata syariah. Wallahu
A’lam.