Rabu, 14 Januari 2015

Antara Hikmah dan 'Illah

Para ulama membedakan antara kata hikmah dan kata ‘illah, karena keduanya ini sering kali bias dalam penggunaannya.

Kata hikmah dalam kitab ushul didefinisikan sebagai berikut: 
Al hikmah hiya al mashlahah allatii qashada asy syaari’u min tasyrii’il hukmi tahqiiqaha aw takmiilaha, awil mafsadah allatii qashada asy syaari’u daf’aha aw taqliilaha.

Sebagian ulama ada yang mendefinisikan sebagai berikut: 
Al hikmatu hiya al atsarul ladzii yatarattabu ‘ala fi’li syai’in aw tarkihi. 
Intinya hiikmah artinya adalah dampak yang timbul dari mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu.

Sedangkan kata ‘illah secara bahasa bisa bermakna penyakit dan bisa juga bermakna sebab atau alasan. Dalam kitab Al Mustashfa Imam Al Ghazali mendefinisikan ‘illah sebagai berikut: 
Hiya maa adhaafahu asy syaari’u al hukma ilaihi wa naathahu bihi wa nashabahu ‘alaamatan ‘alaihi.

Dengan bahasa lain ‘illah itu adalah sebab kita melakukan sesuatu, alasan kita melakukan sesuatu, atau sebab sesuatu itu dinyatakan halal atau haram.

Contoh hikmah dalam terapan ushulnya, misalnya firman Allah SWT: Innash shalaata tanha ‘anil fakhsyaa’i wal munkar (Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar). Jadi kalau kita mengerjakan  shalat secara benar, sesuai dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, maka dampak yang ditimbulkan dari shalat itu adalah mencegah kita dari melakukan sesuatu yang keji dan munkar.

Contoh ‘illah dalam terapannya, seperti bunyi ayat berikut: As saariqu was saariqatu faqtha’uu aidiyahuma (laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah tangan keduanya). Pencurian dijadikan sebab hukum potong tangan. Dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: Al qaatilu laa yaritsu (Orang yang membunuh itu tidak mewarisi). So, pembunuhan dijadikan alasan kenapa si pembunuh terhalang dari mewarisi harta orang yang dibunuhnya.

Hukum-hukum itu ada kalanya dijelaskan ‘illahnya dan ada juga yang tidak. Misalnya, kenapa zakat itu wajib, itu tidak ada ‘illahnya, tapi kalau ada dampak sosial yang timbul karena zakat, itu namanya hikmah. Misalnya lagi mengapa babi itu najis dan haram dimakan. Itu tidak ada penjelasan tentang ‘illah-nya, haramnya itu haram mutlak, murni karena semata-mata ketetapan Allah SWT.

Maksudnya, babi itu katakan najis bukan karena alasan-alasan ilmiyah, seperti babi itu dikatakan hewan yang kotor, mengandung banyak penyakit, cacing pita, virus dan sebagainya. Semua alasan itu mungkin saja benar, namun kenapa Allah SWT menetapkannya sebagai hewan yang najis, tentu alasannya tidak ada kaitannya dengan hal-hal semacam itu.

Faktanya, tidak sedikit orang di dunia ini yang memakan babi setiap harinya. Kalau seandainya makan babi itu berbahaya dan merusak kesehatan, maka seharusnya makan babi sudah dilarang oleh sekian banyak pemerintahan di dunia ini.

Namun kenyataannya berjuta manusia di dunia ini setiap hari aktif mengkonsumsi babi sebagai makanan kesukaan mereka. Dan negeri-negeri yang penduduknya banyak makan babi ternyata bukan negeri yang banyak orang sakitnya atau dilanda gizi buruk.

Maka alasan mengharamkan babi karena hewan itu kotor dan mengandung penyakit dan sebagainya, tentu bukan alasan yang bersifat syar’i, mungkin dalam dunia medis alasan itu bisa saja diterima. Hakikat najis dan haramnya babi yang sebenarnya adalah semata-mata alasan syariah saja, yaitu karena Asy Syaari’ Allah SWT telah menetapkan bahwa babi itu najis dan haram dimakan.

Alasan bahwa babi itu hewan yang najis juga bukan karena faktor perasaan atau pemikiran filosofis. Misalnya ada yang bilang bahwa babi itu najis karena hewan itu menjijikkan, lantaran suka memakan kotorannya sendiri, hidup di tempat jorok, tidak ada rasa cemburu dan sebagainya.

Bahwa babi itu banyak membuat orang-orang merasa jijik, tidak perlu diperdebatkan lagi, karena memang pada umumnya kehidupan babi seperti itu. Tetapi kenapa dianggap najis, alasannya bukan semata-mata babi suka hidup jorok.

Sebab bisa jadi nanti ada orang yang memelihara babi secara bersih, sehat, setiap pagi dan sore dimandikan pakai sabun dan shampo dan dirawat di salon khusus hewan setiap hari, sehingga bulu-bulunya menjadi putih, bersih dan wangi harum semerbak sepanjang hari, makanannya pun hanya dari makanan kaleng yang higienis dan bermutu, apakah saat itu babi itu menjadi suci dan halal dimakan?

Jawabannya tentu tidak. Sebab prinsipnya sekali babi tetap babi, selama-lamanya akan terus menjadi babi. Dan hukumnya sesuai dengan ketentuan dari Allah, bahwa babi itu secantik dan selucu apapun tetap saja hewan yang najis dan haram dimakan. Itulah hakikat kenajisan babi dalam kacamata syariah. Wallahu A’lam.

WAKTU MINIMAL DAN MAKSIMAL KEHAMILAN


Hamil atau mengandung adalah salah satu kekhususan dan keistimewaan yang diberikan Allah azza wa jalla kepada hamba-Nya yang bernama wanita. Kehamilan adalah merupakan kelanjutan dari proses pembuahan sel telur. Kehamilan juga merupakan proses manusia sebagai makhluk hidup untuk berkembang biak demi menjaga kelestarian spesiesnya. Dengan kehamilan, membuka jalan untuk terciptanya generasi penerus manusia yang baru dimuka bumi ini.

Kata hamil memiliki beberapa sinonim kata, diantaranya adalah mengandung, bunting, bertian, berbadan dua, duduk perut dan berisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata hamil adalah mengandung janin di rahim karena sel telur telah dibuahi oleh spermatozoa.

Para ulama telah sepakat bahwa batas minimal masa hamil adalah 6 bulan. Diriwayatkan bahwa pada masa Khalifah Ustman bin Affan ra ada laki-laki yang menikahi seorang perempuan, kemudian setelah 6 bulan ia melahirkan, maka Utsman berkeinginan untuk merajamnya, lalu Ibnu Abbas ra mencegahnya seraya membaca firman Allah SWT:

( وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا )

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”. (Al-Ahqaf: 15)

Dan ayat
 ( وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْن )

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh". (Al-Baqarah: 233)

Pada ayat pertama Allah SWT menjelaskan bahwa masa mengandung dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada ayat kedua, Allah menjelaskan bahwa batas masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun atau 24 bulan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa batas minimal masa hamil atau mengandung itu adalah 30 bulan - 24 bulan = 6 bulan.

Sedangkan batas maksimal kehamilan para ulama berbeda pendapat, Syeikh Muhammad Asy-Syinqity (w. 1393 H) dalam kitab tafsirnya Adhwaul Bayan Fi Idhahil Qur’an Bil Qur’an ketika menjelaskan surah Ar Ra’du ayat 8 berkata:
 “Adapun waktu maksimal kehamilan itu, maka tidak ada batasannya di dalam Al Quran dan as Sunnah, para ulama pun juga berbeda pendapat dalam masalah ini, masing-masing dari mereka berpendapat sesuai dengan apa yang tampak dari keadaaan wanita pada zaman mereka.

Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa waktu maksimal kehamilan itu adalah 4 tahun, dan ini adalah salah satu riwayat pendapat yang masyhur dari Imam Malik, sedangkan riwayat masyhur yang lainnya dari Imam Malik adalah 5 tahun.

Imam Abu Hanifah berpendapat 2 tahun, ini riwayat dari Ahmad, serta ini madzhabnya ats Tsauri dan ini adalah perkataan Ummul Mukminin Aisyah ra. Pendapat al Laits 3 tahun, pendapat az Zuhri 6 tahun dan 7 tahun dan pendapat Muhammad bin Al Hakam tidak lebih dari 1 tahun dan pendapat Dawud azh Zhahiri adalah 9 bulan.”

Ibnu Rusyd (w. 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid berkata:
“Masalah ini dikembalikan kepada adat kebiasaan dan pengalaman, pendapat Ibnu Abdil Hakam (1 tahun) dan azh Zhahiriyah (9 bulan) lebih dekat kepada kebiasaan (yang dialami wanita hamil). Dan wajib berhukum berdasarkan apa yang menjadi kebiasaan, bukan dengan yang jarang terjadi, bisa jadi yang jarang terjadi itu menjadi sesuatu yang mustahil”.

Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H) dalam Al Istidzkar juga berkata:
“Masalah ini tidak ada dasarnya kecuali dengan jalan ijtihad dan ini dikembalikan kepada apa yang sudah menjadi kebiasaan para wanita”.

Karena tidak ada disebutkan batasannya di dalam Al Quran dan Al Hadits, maka masalah ini dikembalikan kepada ‘urf atau adat kebiasaan lamanya wanita mengandung pada masa sekarang, yaitu 9 bulan kurang sedikit atau lebih sedikit.

Mungkin dalam konteks masalah ini kaidah yang berbunyi: “al ‘aadatu muhakkamah” (adat kebiasaan itu bisa dijadikan dasar hukum) dan salah satu cabangnya: “isti’maalun naas hujjatun yajibul ‘amalu biha” (yang sering digunakan oleh manusia itu adalah hujjah wajib beramal dengannya) bisa dijadikan sebagai hujjah atau dalil.

Wallahu A’lam