Sabtu, 07 Maret 2015

Al Mughni Syarah Mukhtashar Al Khiraqi

Kitab Mukhtashar Al Khiraqi karya Abul Qasim Umar bin Al Husain Al Khiraqi (w 334 H) ini adalah salah satu kitab yang paling masyhur di kalangan mazhab Hanbali, bisa dikatakan kitab ini adalah kitab induk dalam mazhab Hanbali, oleh karena itulah banyak para ulama yang mensyarah kitab ini, bahkan menurut Syeikh ‘Izzuddin Al Mishri syarah kitab ini ada sekitar 300 kitab. Diantara kitab syarahnya yang terbaik adalah kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah.

Al Mughni Syarah Mukhtashar Al Khiraqi begitulah kitab ini diberi nama, atau yang biasa disebut dengan Al Mughni. Kitab ini bisa dibilang adalah masterpiece-nya Ibnu Qudamah dalam disiplin ilmu fiqih secara umum dan fiqih mazhab Hanbali secara khusus. Nama lengkap beliau adalah Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Jamma’ili Al Maqdisi Ad Dimasyqi Ash Shalihi Al Hanbali (541 - 620 H).

Kitab ini tidak hanya menguraikan, mensyarah atau menjelaskan ungkapan-ungkapan yang terkandung dalam kitab Mukhtashar Al Khiraqi saja, tetapi penulisnya juga mengemukakan perbedaan pendapat dan riwayat yang terjadi di kalangan para ulama mazhabnya yaitu mazhab Hanbali dalam berbagai masalah dengan disertai dalil-dalinya.

Ibnu Qudamah juga memperluas dan memperlebar pembahasan fiqih yang ada di dalam Al Mughni dengan membandingkan pendapat-pendapat yang ada dalam mazhabnya dengan pendapat-pendapat dari kalangan ulama mazhab lain seperti mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, bahkan beliau juga menyebutkan mazhab-mazhab yang tidak terkenal atau sudah tidak berkembang lagi seperti mazhab Imam Hasan Al Bashri, ‘Atha, Sufyan Ats Tsauri dan yang lainnya. Selain itu beliau juga ada menukil pendapat para ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in.

Tidak hanya sampai sebatas menyebutkan pendapat-pendapat para ulama mazhab lain saja dalam masalah tertentu, tetapi beliau juga menyebutkan dalil-dalil yang mereka gunakan, kemudian beliau menjelaskan kedudukan dalil-dalil tersebut dari sisi kekuatan dan kelemahannya.

Tidak diragukan lagi, bahwa kitab Al Mughni ini adalah merupakan kitab kajian fiqih terbaik yang disusun dalam format fiqih perbandingan (muqaranah), yang waktu itu tidak banyak ulama dari mazhab lain yang menyusun kitab dengan metodologi seperti ini.

Sebagaimana kitab-kitab fiqih pada umumnya, kitab ini memulai pembahasan dengan kitab Thaharah, Shalat, Jenazah, Zakat, Puasa, I’tikaf, Haji, Nikah dan masih banyak lagi yang lainnya dengan disertai bab-bab dan pasal-pasal serta permasalahan ditiap kitabnya, lalu ditutup dengan kitab ‘Itqu Ummahatil Aulad.

Pertama kali melihat kitab ini dalam wujud aslinya, maksudnya dalam bentuk cetakan penerbit saya langsung berdecak kagum, maklum kitab ini lumayan tebal ada 16 jilid versi penerbit Darul Hadits Qairo, karena sebelumnya saya hanya pernah membuka isi kitabnya melalui format PDF atau program Maktabah Syamilah saja. Sebenarnya kitab ini juga ada diperpustakaan kampus kami tapi saya belum pernah melihatnya karena jarang mengunjunginya.

Sejatinya kitab ini cuma 14 jilid karena 2 jilid terakhir adalah fihris atau daftar isi. Pada jilid 15 dan 16 memuat daftar isi dari ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits nabawi, atsar-atsar dari para sahabat, panggilan-panggilan (kuniyah) dan lain sebagainya.

Pada terbitan Darul Hadits ini kitab Al Mughni dicetak bersamaan dengan kitab Asy Syarhu Al Kabir yang ditulis oleh keponakan Ibnu Qudamah yang bernama Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi (w 682). Asy Syarhu Al Kabir adalah syarah dari kitab Ibnu Qudamah yang bernama Al Muqni’.

Banyak para ulama yang memuji dan mengapresiasi kitab Al Mughni ini dan menganggapnya sebagai salah satu referensi terbaik, tepat dan sangat direkomendasikan bagi mereka yang mau memperdalam ilmu fiqih perbandingan selain kitab-kitab fiqih perbandingan lainnya, seperti kitab Bada’i Ash Shana’i karya Imam Al Kasani, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd Al Hafid dan Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab karya Imam An Nawawi.

Meskipun pembahasan dalam kitab ini lengkap dengan pendapat berbagai mazhab disertai dalil-dalilnya, tapi jangan harap bisa menemukan pembahasan masalah fiqih yang bersifat kontemporer atau terkini, karena ini adalah kitab fiqih klasik.

Kitab ini juga tidak diperuntukkan buat mereka yang awam, baru melek ilmu fiqih dan baru bisa bahasa Arab, karena ditakutkan ketika membacanya bukan tambah paham, malah tambah bingung, karena memang kitab ini sejatinya diperuntukkan lebih tepatnya buat mereka yang sudah punya dasar-dasar ilmu fiqih, jadi tidak akan kelimpungan dan kebingungan dengan berbagai perbedaan pendapat yang ditemui dalam kitab ini.

Asyiknya kitab ini sudah ada yang menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, meskipun belum semuanya selesai diterjemahkan dan harganya pun juga dibanderol lumayan mahal, apalagi jumlahnya sampai 16 jilid.

Bagi yang belum punya dana yang cukup untuk membeli kitab ini jangan berkecil hati, tidak bisa membeli bukan berarti tidak bisa membacanya. Perpustakaan digital Maktabah Syamilah yang cukup terkenal dikalangan mahasiswa syariah itu sudah ada memuat kitab ini. Bahkan juga ada versi PDF yang siap didownload di internet.


Wallahu A’lam

Rabu, 14 Januari 2015

Antara Hikmah dan 'Illah

Para ulama membedakan antara kata hikmah dan kata ‘illah, karena keduanya ini sering kali bias dalam penggunaannya.

Kata hikmah dalam kitab ushul didefinisikan sebagai berikut: 
Al hikmah hiya al mashlahah allatii qashada asy syaari’u min tasyrii’il hukmi tahqiiqaha aw takmiilaha, awil mafsadah allatii qashada asy syaari’u daf’aha aw taqliilaha.

Sebagian ulama ada yang mendefinisikan sebagai berikut: 
Al hikmatu hiya al atsarul ladzii yatarattabu ‘ala fi’li syai’in aw tarkihi. 
Intinya hiikmah artinya adalah dampak yang timbul dari mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu.

Sedangkan kata ‘illah secara bahasa bisa bermakna penyakit dan bisa juga bermakna sebab atau alasan. Dalam kitab Al Mustashfa Imam Al Ghazali mendefinisikan ‘illah sebagai berikut: 
Hiya maa adhaafahu asy syaari’u al hukma ilaihi wa naathahu bihi wa nashabahu ‘alaamatan ‘alaihi.

Dengan bahasa lain ‘illah itu adalah sebab kita melakukan sesuatu, alasan kita melakukan sesuatu, atau sebab sesuatu itu dinyatakan halal atau haram.

Contoh hikmah dalam terapan ushulnya, misalnya firman Allah SWT: Innash shalaata tanha ‘anil fakhsyaa’i wal munkar (Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar). Jadi kalau kita mengerjakan  shalat secara benar, sesuai dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, maka dampak yang ditimbulkan dari shalat itu adalah mencegah kita dari melakukan sesuatu yang keji dan munkar.

Contoh ‘illah dalam terapannya, seperti bunyi ayat berikut: As saariqu was saariqatu faqtha’uu aidiyahuma (laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah tangan keduanya). Pencurian dijadikan sebab hukum potong tangan. Dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: Al qaatilu laa yaritsu (Orang yang membunuh itu tidak mewarisi). So, pembunuhan dijadikan alasan kenapa si pembunuh terhalang dari mewarisi harta orang yang dibunuhnya.

Hukum-hukum itu ada kalanya dijelaskan ‘illahnya dan ada juga yang tidak. Misalnya, kenapa zakat itu wajib, itu tidak ada ‘illahnya, tapi kalau ada dampak sosial yang timbul karena zakat, itu namanya hikmah. Misalnya lagi mengapa babi itu najis dan haram dimakan. Itu tidak ada penjelasan tentang ‘illah-nya, haramnya itu haram mutlak, murni karena semata-mata ketetapan Allah SWT.

Maksudnya, babi itu katakan najis bukan karena alasan-alasan ilmiyah, seperti babi itu dikatakan hewan yang kotor, mengandung banyak penyakit, cacing pita, virus dan sebagainya. Semua alasan itu mungkin saja benar, namun kenapa Allah SWT menetapkannya sebagai hewan yang najis, tentu alasannya tidak ada kaitannya dengan hal-hal semacam itu.

Faktanya, tidak sedikit orang di dunia ini yang memakan babi setiap harinya. Kalau seandainya makan babi itu berbahaya dan merusak kesehatan, maka seharusnya makan babi sudah dilarang oleh sekian banyak pemerintahan di dunia ini.

Namun kenyataannya berjuta manusia di dunia ini setiap hari aktif mengkonsumsi babi sebagai makanan kesukaan mereka. Dan negeri-negeri yang penduduknya banyak makan babi ternyata bukan negeri yang banyak orang sakitnya atau dilanda gizi buruk.

Maka alasan mengharamkan babi karena hewan itu kotor dan mengandung penyakit dan sebagainya, tentu bukan alasan yang bersifat syar’i, mungkin dalam dunia medis alasan itu bisa saja diterima. Hakikat najis dan haramnya babi yang sebenarnya adalah semata-mata alasan syariah saja, yaitu karena Asy Syaari’ Allah SWT telah menetapkan bahwa babi itu najis dan haram dimakan.

Alasan bahwa babi itu hewan yang najis juga bukan karena faktor perasaan atau pemikiran filosofis. Misalnya ada yang bilang bahwa babi itu najis karena hewan itu menjijikkan, lantaran suka memakan kotorannya sendiri, hidup di tempat jorok, tidak ada rasa cemburu dan sebagainya.

Bahwa babi itu banyak membuat orang-orang merasa jijik, tidak perlu diperdebatkan lagi, karena memang pada umumnya kehidupan babi seperti itu. Tetapi kenapa dianggap najis, alasannya bukan semata-mata babi suka hidup jorok.

Sebab bisa jadi nanti ada orang yang memelihara babi secara bersih, sehat, setiap pagi dan sore dimandikan pakai sabun dan shampo dan dirawat di salon khusus hewan setiap hari, sehingga bulu-bulunya menjadi putih, bersih dan wangi harum semerbak sepanjang hari, makanannya pun hanya dari makanan kaleng yang higienis dan bermutu, apakah saat itu babi itu menjadi suci dan halal dimakan?

Jawabannya tentu tidak. Sebab prinsipnya sekali babi tetap babi, selama-lamanya akan terus menjadi babi. Dan hukumnya sesuai dengan ketentuan dari Allah, bahwa babi itu secantik dan selucu apapun tetap saja hewan yang najis dan haram dimakan. Itulah hakikat kenajisan babi dalam kacamata syariah. Wallahu A’lam.

WAKTU MINIMAL DAN MAKSIMAL KEHAMILAN


Hamil atau mengandung adalah salah satu kekhususan dan keistimewaan yang diberikan Allah azza wa jalla kepada hamba-Nya yang bernama wanita. Kehamilan adalah merupakan kelanjutan dari proses pembuahan sel telur. Kehamilan juga merupakan proses manusia sebagai makhluk hidup untuk berkembang biak demi menjaga kelestarian spesiesnya. Dengan kehamilan, membuka jalan untuk terciptanya generasi penerus manusia yang baru dimuka bumi ini.

Kata hamil memiliki beberapa sinonim kata, diantaranya adalah mengandung, bunting, bertian, berbadan dua, duduk perut dan berisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata hamil adalah mengandung janin di rahim karena sel telur telah dibuahi oleh spermatozoa.

Para ulama telah sepakat bahwa batas minimal masa hamil adalah 6 bulan. Diriwayatkan bahwa pada masa Khalifah Ustman bin Affan ra ada laki-laki yang menikahi seorang perempuan, kemudian setelah 6 bulan ia melahirkan, maka Utsman berkeinginan untuk merajamnya, lalu Ibnu Abbas ra mencegahnya seraya membaca firman Allah SWT:

( وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا )

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”. (Al-Ahqaf: 15)

Dan ayat
 ( وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْن )

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh". (Al-Baqarah: 233)

Pada ayat pertama Allah SWT menjelaskan bahwa masa mengandung dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada ayat kedua, Allah menjelaskan bahwa batas masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun atau 24 bulan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa batas minimal masa hamil atau mengandung itu adalah 30 bulan - 24 bulan = 6 bulan.

Sedangkan batas maksimal kehamilan para ulama berbeda pendapat, Syeikh Muhammad Asy-Syinqity (w. 1393 H) dalam kitab tafsirnya Adhwaul Bayan Fi Idhahil Qur’an Bil Qur’an ketika menjelaskan surah Ar Ra’du ayat 8 berkata:
 “Adapun waktu maksimal kehamilan itu, maka tidak ada batasannya di dalam Al Quran dan as Sunnah, para ulama pun juga berbeda pendapat dalam masalah ini, masing-masing dari mereka berpendapat sesuai dengan apa yang tampak dari keadaaan wanita pada zaman mereka.

Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa waktu maksimal kehamilan itu adalah 4 tahun, dan ini adalah salah satu riwayat pendapat yang masyhur dari Imam Malik, sedangkan riwayat masyhur yang lainnya dari Imam Malik adalah 5 tahun.

Imam Abu Hanifah berpendapat 2 tahun, ini riwayat dari Ahmad, serta ini madzhabnya ats Tsauri dan ini adalah perkataan Ummul Mukminin Aisyah ra. Pendapat al Laits 3 tahun, pendapat az Zuhri 6 tahun dan 7 tahun dan pendapat Muhammad bin Al Hakam tidak lebih dari 1 tahun dan pendapat Dawud azh Zhahiri adalah 9 bulan.”

Ibnu Rusyd (w. 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid berkata:
“Masalah ini dikembalikan kepada adat kebiasaan dan pengalaman, pendapat Ibnu Abdil Hakam (1 tahun) dan azh Zhahiriyah (9 bulan) lebih dekat kepada kebiasaan (yang dialami wanita hamil). Dan wajib berhukum berdasarkan apa yang menjadi kebiasaan, bukan dengan yang jarang terjadi, bisa jadi yang jarang terjadi itu menjadi sesuatu yang mustahil”.

Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H) dalam Al Istidzkar juga berkata:
“Masalah ini tidak ada dasarnya kecuali dengan jalan ijtihad dan ini dikembalikan kepada apa yang sudah menjadi kebiasaan para wanita”.

Karena tidak ada disebutkan batasannya di dalam Al Quran dan Al Hadits, maka masalah ini dikembalikan kepada ‘urf atau adat kebiasaan lamanya wanita mengandung pada masa sekarang, yaitu 9 bulan kurang sedikit atau lebih sedikit.

Mungkin dalam konteks masalah ini kaidah yang berbunyi: “al ‘aadatu muhakkamah” (adat kebiasaan itu bisa dijadikan dasar hukum) dan salah satu cabangnya: “isti’maalun naas hujjatun yajibul ‘amalu biha” (yang sering digunakan oleh manusia itu adalah hujjah wajib beramal dengannya) bisa dijadikan sebagai hujjah atau dalil.

Wallahu A’lam

Kamis, 08 Mei 2014

Bolehkan Menghadiahkan Pahala Bacaan Al-Qur’an Kepada Orang Yang Telah Meninggal?

Pertama:

Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa menghadiahkan pahala sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia (mayyit) hukumnya boleh dan pahalanya sampai kepada mayyit serta bermanfaat baginya. Demikian juga doa untuk mayyit.

Berkata Ibnu Katsir: “Adapun doa dan sedekah adalah sudah menjadi kesepakatan (Ijma’) para ulama bahwa pahalanya sampai kepada si mayyit dan ini ada landasan syar’inya”.

Diantara dalil yang dipakai ialah sebagai berikut:

1. Hadis dari Aisyah ra, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi SAW, “Ibuku mati secara tiba-tiba, sementara dia belum berwasiat, saya yakin andaikan dia sempat berbicara, dia akan bersedekah, apakah dia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, bersedekahlah atas nama ibumu”. (HR. Bukhari).

2. Hadis dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya ibunya Sa’ad bin Ubadah meninggal dunia ketika Sa’ad tidak ada di sampingnya, Sa'ad berkata: ”Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu aku tidak ada disampingnya, apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah harta atas nama beliau? Nabi SAW menjawab: ”Ya”. (HR. Bukhari).

3. Hadis dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakannya”. (HR. Muslim). Ketiga hal tersebut adalah merupakan usaha, jeri payah dan amal si mayyit.

Dan juga para ulama telah sepakat bahwa membaca Al-Qur’an adalah bernilai ibadah (al-muta’abbadu bitilawatihi) serta akan mendapat pahala dari Allah SWT.

Kedua

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada si mayyit, apakah yang demikian itu boleh? Apakah pahalanya sampai kepada mayyit? Dan apakah yang demikian itu bermanfaat bagi mayyit? Berikut penjelasannya berdasarkan mazhab para ulama:

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab ini berpendapat bahwasanya menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit hukumnya boleh (jaiz), dan pahalanya sampai kepada mayyit serta bermanfaat baginya.

2. Mazhab Al-Malikiyah
Imam Malik berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada si mayyit tidak boleh, dan yang demikian itu tidak bermanfaat bagi mayyit serta tidak sampai. Berkata sebagian sahabat (pengikut) Imam Malik: bahwasanya yang demikian itu bermanfaat dan sampai kepada mayyit.

3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah ada beberapa pendapat dalam masalah ini, diantaranya:
1. Yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i, tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan al-qur’an kepada si mayyit, pahalanya tidak sampai kepada mayyit serta tidak memberi manfaat baginya.
2. Berkata mayoritas sahabat imam asy-syafi’i, boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit, pahalanya sampai kepada mayyit dan bermanfaat baginya.

An-Nawawi berkata: ”dan adapun membaca al-qur’an, maka yang masyhur dari mazhab Asy-Syafi’i bahwasanya pahalanya tidak sampai kepada mayyit, dan berkata sebagian sahabat Asy-Syafi’i: pahalanya sampai kepada mayyit.

4. Mazhab Al-Hanabilah
Dalam masalah ini mazhab Al-Hanabilah mempunyai beberapa pendapat diantaranya:

1. Boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit, dan pahalanya sampai kepada mayyit serta bermanfaat baginya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
2. Tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit, pahalanya tidak sampai kepada mayyit serta tidak bermanfaat baginya. Al-Buhuti menisbahkan pendapat ini kepada mayoritas mazhab Al-Hanabilah.
3. Pahalanya hanya untuk yang membacanya saja, tetapi diharapkan rahmahnya bagi si mayyit.

Ibnu Qudamah berkata: ”ibadah apa saja yang diperbuat kemudian menjadikan pahalanya kepada mayyit muslim, yang demikian itu bermanfaat”.

Al-Buhuti berkata: ”semua ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim, lalu dia menjadikan seluruh pahalanya atau sebagiannya untuk muslim lain, baik dia masih hidup atau sudah mati, yang demikian itu bermanfaat baginya.

Dalil Yang Melarang

Dalil yang mengatakan bahwa menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an kepada mayyit tidak sampai adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah Taala:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm: 39)

Ayat diatas mengandung pengertian bahwasanya tidaklah seseorang itu dibalas kecuali dari perbuatan, amal, usahanya sendiri. Bacaan untuk si mayyit bukan dari amal dan usahanya sendiri.

2. Firman Allah SWT:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-Baqarah: 134)

Ayat diatas menunjukkan bahwasanya seseorang hanya memperoleh apa yang dia perbuat saja, dan tidak memperoleh apa yang diperbuat orang lain.

3. Hadis Nabi SAW:

“Apabila seorang anak adam meninggal, maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslim)

Hadis diatas menjelaskan putusnya amal si mayyit kecuali tiga hal yang disebutkan diatas, sedangkan menghadiahkan pahala bacaan kepada si mayyit tidak termasuk ke dalam tiga hal tersebut.

4. Bahwasanya tidak ada satu riwayatpun dari sahabat ra mereka menghadiahkan pahala kepada mayyit, seandainya itu baik niscaya mereka sudah mendahului kita (lau kana khairan lasabaquna ilaihi).

5. Ibadah hanya terbatas kepada nash-nash syar’i saja, sedangkan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat tidak bisa dijadikan landasan.

Dalil Yang Membolehkan:

1. Firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami” (QS. Al-Hasyar:10)

Ayat di atas menunjukkan bahwa diantara bentuk kemanfaatan yang bisa dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal adalah mendoakan mereka.

2. Firman Allah SWT:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

"Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan". (QS. Muhammad: 19)

Allah SWT memerintahkan Nabi untuk beristighfar bagi orang-orang yang beriman, dan ini menunjukkan bahwasanya istighfar sampai kepada mayyit dan bermanfaat.

3. Hadis Nabi SAW:

”Barang siapa melewati kuburan dan membaca surah al-ikhlash 11 kali, lalu memberikan pahalanya kepada orang yang sudah mati, maka diberikan kepadanya pahala sebanyak bilangan orang-orang yang mati.

4. Hadis Ma’qal bin Yasir ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Bacalah surah yasin kepada orang-orang mati diantara kalian”. HR. Abu Dawud

Nabi SAW memerintahkan untuk membacakan yasin kepada orang yang meninggal dan yasin adalah bagian dari alqur’an, ini adalah dalil bahwasanya bacaan Al-Qur’an bermanfaat kepada orang yang meninggal, jika tidak bermanfaat niscaya nabi tidak menyuruh membaca yasin kepada orang yg meninggal.

5. Qiyas terhadap sedekah, puasa dan haji, bahwasanya semuanya sampai kepada orang yang meninggal dan ini adalah ijma’ para ulama.

Seperti hadis ibnu abbas ra berkata: bahwasanya seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah hutang kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan." (HR Al-Bukhari).

Seorang wanita dari Khats`am bertanya, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya." (HR Jamaah)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan mempunyai hutang puasa sebulan apakah aku mengqadha’nya? Beliau menjawab: Ya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.

Hadis-hadis diatas menunjukkan bahwasanya orang yang sudah meninggal diberi manfaat oleh hajinya orang yang masih hidup, demikian juga haji dan sedekah, lalu diqiyaskan bacaan al-qur’an kepada haji, puasa dan sedekah.

Ibnu Qudamah berkata: semua hadis diatas shahih dan ini adalah dalil bahwasanya orang yang meninggal diberi manfaat dengan semua ibadah, termasuk puasa, haji, sedekah, istighfar dan doa.

kesimpulan

Secara umum ada dua pendapat dalam masalah menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang yang meninggal.

(1) Pendapat pertama mengingkarinya dan mengatakan tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal karena itu merupakan suatu hal yang tidak bermanfaat bagi si mayyit dan pahalanya tidak akan sampai kepadanya dengan dalil-dalil yang disebutkan diatas.

(2) Pendapat kedua mengatakan bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal merupakan sesuatu yang dibolehkan dan dapat bermanfaat bagi si mayyit dan pahalanya akan sampai kepadanya dengan dalil-dalinya yang disebutkan diatas.

Sebenarnya masalah ini sudah menjadi topik perdebatan para ulama sejak dulu, kita bisa mengambil dan mengikuti pendapat yang kita yakini paling benar atau paling kuat. Dan yang terpenting Al-Quran jangan hanya dijadikan sebagai pengirim hadiah pahala saja, namun mari kita pelajari, baca, tadabburi dan amalkan isi kandungannya.

Dan juga jangan sampai ketika berbeda dalam hal yang masih menjadi perbedaan pendapat membuat hubungan kita sebagai sesama muslim menjadi renggang, silaturrahim dan ukhuwah islamiyah jadi terputus, seakan-akan ada jurang pemisah diantara sesama muslim. Justru seharusnya kita harus bersikap lebih dewasa dan bijak serta bisa menghormati orang lain yang tidak sependapat dengan kita, karena perbedaan pendapat itu adalah suatu keniscayaan.

Wallahu a’lam bishshawab

Jumat, 14 Maret 2014

Istilah Nama-Nama Dalam Mazhab Asy-Syafi’iyah


Dalam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) para ulama dari tiap-tiap mazhab tersebut mempunyai istilah penyebutan khusus untuk menunjukkan ahli fiqih di mazhabnya masing-masing. Diantara istilah yang menunjukkan para ahli fiqih (fuqaha) dari mazhab Asy-Syafi’iyah ialah:

- Apabila disebutkan “Al-Imam”, maka yang dimaksud ialah Imam Al-Haramain, nama lengkap beliau adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini (478 H)

- Apabila disebutkan “Al-Qadhi”, maka yang dimaksud ialah Al-Qadhi Husain Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Marwazi (462 H)

- Apabila disebutkan “Al-Qadhiyan” (2 orang qadhi), maka yang dimaksud ialah Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi (450 H) dan Abdul Wahid bin Ismail bin Ahmad Ar-Ruyani (501 H)

- Apabila disebutkan “Asy-Syaikhan” (2 orang syaikh), maka yang dimaksud ialah Abul Qasim Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim Ar-Rafi’i Al-Quzwaini (634 H) dan Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (677 H)

- Apabila disebutkan “Asy-Syuyukh”, maka yang dimaksud ialah Ar-Rafi’i, An-Nawawi dan Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi As-Subki (756 H)

- Apabila disebutkan “Asy-Syarih”, atau “Asy-Syarih Al-Muhaqqiq”, maka yang dimaksud ialah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim Al-Mahalli (864 H)

- Apabila Al-Khatib Asy-Syirbini menyebut kata “Syaikhi” dalam kitabnya, maka yang dimaksud ialah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad Ar-Ramli (971 H)

- Apabila disebutkan “Syaikhuna”, “Asy-Syaikh” atau “Syaikhul Islam”, maka yang dimaksud ialah Zakaria bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshari (926 H).

Kalau dalam mazhab Syafi'i ada yang bergelar Syaikhul Islam, dalam mazhab Hanbali pun juga ada yang bergelar Syaikhul Islam, yaitu Abul Abbas Ibnu Taimiyah.

Rahimahumullah al-jami' wa nafa'anallahu bi'ulumihim...

Minggu, 15 Desember 2013

Ma Infarada Bihi Al-Hanafiyah

Untuk mengenali suatu mazhab tertentu, kita bisa melihat dari pendapat mazhab itu yang berbeda dengan pendapat jumhur atau pendapat yang sudah berkembang di tengah umat Islam. Dan ini bisa diketahui dengan belajar fikih perbandingan.

Misalnya mazhab Al Hanafiyah, mereka punya pendapat yang menyendiri atau yang dikenal dengan istilah ‘Ma Infarada Bihi Al-Hanafiyah’. Ternyata perbedaan pendapat mazhab Al-Hanafiyah dengan pendapat mazhab lainnya lumayan banyak yang terjadi, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa mazhab yang paling banyak berbeda dengan mazhab lainnya ialah mazhab Al-Hanafiyah.

Tidak Menjaharkan Lafazh Amin

Seorang Imam disunnahkan untuk menjaharkan (mengeraskan) bacaan pada shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh), baik bacaan surat Al-Fatihah atau pun bacaan ayat Al-Quran lainnya. Dan setelah membaca surah Al-Fatihah, baik imam dan makmum sama-sama disunnahkan membaca lafazh ”amin” yang dikeraskan.

Namun mazhab Al-Hanafiyah tidak menyunnahkan bacaan amin ini, tidak kepada imam dan tidak juga kepada makmum, bahkan untuk orang yang shalatnya sendirian pun juga tidak.

Ada cerita dari salah seorang ustadz kita, ada orang Indonesia yang berkunjung ke Turki untuk pertama kalinya dan shalat Maghrib di salah satu masjid disana, ketika imam sudah selesai membaca surah Al-Fatihah, ia langsung mengucapkan amin dan menyaringkannya, namun ternyata cuma dia sendirian yang menyaringkannya makmum yang lain tidak.

Selidik punya selidik, ternyata di Turki mayoritas warganya bermazhab Hanafi, makanya setelah membaca surah Al-Fatihah mereka tidak mengeraskan bacaan amin. Dan sebagaimana diketahui bersama bahwa pada zaman pemerintahan Daulah Turki Usmani dulu mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi negara.

Jadi gak kebayang gimana keadaannya, disaat yang lain gak mengeraskan bacaan amin, cuma kita sendirian saja yang mengeraskannya. Mungkin setelah selesai salam langsung ngacir kabur keluar.

IMAM AL KASANI DAN KITABNYA

Mungkin bagi sebagian orang nama diatas terdengar agak asing. Ya, Imam Al Kasani adalah penulis kitab Bada’i Ash Shana’i Fi Tartib Asy Syara’i atau biasa disingkat dengan Bada’i Ash Shana’i. Beliau dilahirkan di Kasan, kadang orang-orang dulu menyebutnya Qasyan, dan sekarang dikenal dengan nama Kazan, daerah yang terletak di sebelah tenggara Uzbekistan, tidak terlalu jauh jaraknya dengan tempat kelahiran Imam Bukhari, kota Bukhara (Buxoro).

Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad Al Kasani, tidak diketahui pasti kapan tahun lahirnya, meninggal tahun 587 H di Halab atau yang sekarang dikenal dengan nama kota Aleppo, kota terbesar kedua setelah ibukota Suriah, Damaskus.

Kitab Bada’i Ash Shana’i adalah uraian atau syarah dari kitab At Tuhfah (Tuhfatul Fuqaha) karya guru beliau yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Abu Ahmad As Samarqandi (w 540 H) atau yang lebih dikenal dengan nama Imam As Samarqandi, seorang ulama besar ahli fiqih dari mazhab Hanafi.

Kitab ini meskipun mensyarah isi kitab At Tuhfah, namun isinya tidak melulu tentang fiqih mazhab Hanafi saja, tetapi penulisnya juga memasukkan pendapat para ulama dari mazhab lain beserta dalil-dalilnya, seperti mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan lain sebagainya. Sehingga kitab ini bisa dikatakan sebagai salah satu kitab yang bergenre fiqih perbandingan.

Diantara keistimewaan kitab ini adalah bahasanya mudah dan ringan tapi bagi yang belum bisa berbahasa Arab tetap aja susah (mohon maaf bagi yang belum bisa bahasa Arab). Diterbitkan untuk pertama kalinya dengan 7 jilid besar di Kairo pada tahun 1327 H, dengan bantuan 2 orang penduduk Halab dari keluarga Al Jabiri, yang sebelumnya manuskrip atau naskah asli kitabnya berada pada salah satu dari keduanya.

Ada cerita yang menarik tentang Imam Al Kasani, diceritakan bahwa Imam As Samarqandi menikahkan putrinya yang bernama Fathimah dengan Imam Al Kasani dengan menjadikan kitab Bada’i Ash Shana’i sebagai maharnya.

Putri sang guru yang bernama fathimah itu adalah wanita terbaik di zamannya. Cantik rupawan dan pintar ilmu agama, belajar fikih langsung dari ayahnya bahkan dia hafal diluar kepala isi kitab At Tuhfah yang dikarang oleh ayahnya, maka wajar banyak laki-laki yang ingin mempersuntingnya, bahkan banyak dari kalangan raja dinasti Romawi yang ingin meminangnya tetapi semua ditolak karena tidak ada yang yang berkenan di hati sang guru.

Sampai suatu hari ada seorang murid yang datang belajar kepada Imam As Samarqandi, lalu murid ini terkenal dengan kerajinan, ketekunan dan kepintarannya serta cepat faham pelajaran yang diajarkan, hingga pada suatu hari sang murid datang kehadapan gurunya dengan membawa syarah dari isi kitab gurunya yang bernama At Tuhfah itu, melihat syarah kitab tersebut sang guru merasa senang sekali lalu murid tersebut dinikahkanlah dengan putrinya dengan syarah kitab tersebut sebagai maharnya.

Syarah kitab tersebut bernama Bada’i Ash Shana’i dan sang murid tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah Imam Al Kasani. Berkata para ulama di zamannya: “Syaraha tuhfatahu wa zawwajahu ibnatahu” (Dia mensyarah kitab gurunya, lalu mendapatkan putrinya).

Mungkin karena terinspirasi dari cerita diatas ada sebagian orang yang menjadikan kitab atau buku sebagai bagian dari mahar. Kemarin ada yang maharnya kitab tafsir Al Munir karya DR. Wahbah Zuhaili, ada juga 100 buku bacaan sebagai bagian dari mahar, dan mungkin ada lagi yang lainnya.

Wallahu A'lam