Kamis, 08 Mei 2014

Bolehkan Menghadiahkan Pahala Bacaan Al-Qur’an Kepada Orang Yang Telah Meninggal?

Pertama:

Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa menghadiahkan pahala sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia (mayyit) hukumnya boleh dan pahalanya sampai kepada mayyit serta bermanfaat baginya. Demikian juga doa untuk mayyit.

Berkata Ibnu Katsir: “Adapun doa dan sedekah adalah sudah menjadi kesepakatan (Ijma’) para ulama bahwa pahalanya sampai kepada si mayyit dan ini ada landasan syar’inya”.

Diantara dalil yang dipakai ialah sebagai berikut:

1. Hadis dari Aisyah ra, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi SAW, “Ibuku mati secara tiba-tiba, sementara dia belum berwasiat, saya yakin andaikan dia sempat berbicara, dia akan bersedekah, apakah dia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, bersedekahlah atas nama ibumu”. (HR. Bukhari).

2. Hadis dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya ibunya Sa’ad bin Ubadah meninggal dunia ketika Sa’ad tidak ada di sampingnya, Sa'ad berkata: ”Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu aku tidak ada disampingnya, apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah harta atas nama beliau? Nabi SAW menjawab: ”Ya”. (HR. Bukhari).

3. Hadis dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakannya”. (HR. Muslim). Ketiga hal tersebut adalah merupakan usaha, jeri payah dan amal si mayyit.

Dan juga para ulama telah sepakat bahwa membaca Al-Qur’an adalah bernilai ibadah (al-muta’abbadu bitilawatihi) serta akan mendapat pahala dari Allah SWT.

Kedua

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada si mayyit, apakah yang demikian itu boleh? Apakah pahalanya sampai kepada mayyit? Dan apakah yang demikian itu bermanfaat bagi mayyit? Berikut penjelasannya berdasarkan mazhab para ulama:

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab ini berpendapat bahwasanya menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit hukumnya boleh (jaiz), dan pahalanya sampai kepada mayyit serta bermanfaat baginya.

2. Mazhab Al-Malikiyah
Imam Malik berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada si mayyit tidak boleh, dan yang demikian itu tidak bermanfaat bagi mayyit serta tidak sampai. Berkata sebagian sahabat (pengikut) Imam Malik: bahwasanya yang demikian itu bermanfaat dan sampai kepada mayyit.

3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah ada beberapa pendapat dalam masalah ini, diantaranya:
1. Yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i, tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan al-qur’an kepada si mayyit, pahalanya tidak sampai kepada mayyit serta tidak memberi manfaat baginya.
2. Berkata mayoritas sahabat imam asy-syafi’i, boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit, pahalanya sampai kepada mayyit dan bermanfaat baginya.

An-Nawawi berkata: ”dan adapun membaca al-qur’an, maka yang masyhur dari mazhab Asy-Syafi’i bahwasanya pahalanya tidak sampai kepada mayyit, dan berkata sebagian sahabat Asy-Syafi’i: pahalanya sampai kepada mayyit.

4. Mazhab Al-Hanabilah
Dalam masalah ini mazhab Al-Hanabilah mempunyai beberapa pendapat diantaranya:

1. Boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit, dan pahalanya sampai kepada mayyit serta bermanfaat baginya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
2. Tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit, pahalanya tidak sampai kepada mayyit serta tidak bermanfaat baginya. Al-Buhuti menisbahkan pendapat ini kepada mayoritas mazhab Al-Hanabilah.
3. Pahalanya hanya untuk yang membacanya saja, tetapi diharapkan rahmahnya bagi si mayyit.

Ibnu Qudamah berkata: ”ibadah apa saja yang diperbuat kemudian menjadikan pahalanya kepada mayyit muslim, yang demikian itu bermanfaat”.

Al-Buhuti berkata: ”semua ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim, lalu dia menjadikan seluruh pahalanya atau sebagiannya untuk muslim lain, baik dia masih hidup atau sudah mati, yang demikian itu bermanfaat baginya.

Dalil Yang Melarang

Dalil yang mengatakan bahwa menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an kepada mayyit tidak sampai adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah Taala:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm: 39)

Ayat diatas mengandung pengertian bahwasanya tidaklah seseorang itu dibalas kecuali dari perbuatan, amal, usahanya sendiri. Bacaan untuk si mayyit bukan dari amal dan usahanya sendiri.

2. Firman Allah SWT:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-Baqarah: 134)

Ayat diatas menunjukkan bahwasanya seseorang hanya memperoleh apa yang dia perbuat saja, dan tidak memperoleh apa yang diperbuat orang lain.

3. Hadis Nabi SAW:

“Apabila seorang anak adam meninggal, maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslim)

Hadis diatas menjelaskan putusnya amal si mayyit kecuali tiga hal yang disebutkan diatas, sedangkan menghadiahkan pahala bacaan kepada si mayyit tidak termasuk ke dalam tiga hal tersebut.

4. Bahwasanya tidak ada satu riwayatpun dari sahabat ra mereka menghadiahkan pahala kepada mayyit, seandainya itu baik niscaya mereka sudah mendahului kita (lau kana khairan lasabaquna ilaihi).

5. Ibadah hanya terbatas kepada nash-nash syar’i saja, sedangkan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat tidak bisa dijadikan landasan.

Dalil Yang Membolehkan:

1. Firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami” (QS. Al-Hasyar:10)

Ayat di atas menunjukkan bahwa diantara bentuk kemanfaatan yang bisa dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal adalah mendoakan mereka.

2. Firman Allah SWT:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

"Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan". (QS. Muhammad: 19)

Allah SWT memerintahkan Nabi untuk beristighfar bagi orang-orang yang beriman, dan ini menunjukkan bahwasanya istighfar sampai kepada mayyit dan bermanfaat.

3. Hadis Nabi SAW:

”Barang siapa melewati kuburan dan membaca surah al-ikhlash 11 kali, lalu memberikan pahalanya kepada orang yang sudah mati, maka diberikan kepadanya pahala sebanyak bilangan orang-orang yang mati.

4. Hadis Ma’qal bin Yasir ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Bacalah surah yasin kepada orang-orang mati diantara kalian”. HR. Abu Dawud

Nabi SAW memerintahkan untuk membacakan yasin kepada orang yang meninggal dan yasin adalah bagian dari alqur’an, ini adalah dalil bahwasanya bacaan Al-Qur’an bermanfaat kepada orang yang meninggal, jika tidak bermanfaat niscaya nabi tidak menyuruh membaca yasin kepada orang yg meninggal.

5. Qiyas terhadap sedekah, puasa dan haji, bahwasanya semuanya sampai kepada orang yang meninggal dan ini adalah ijma’ para ulama.

Seperti hadis ibnu abbas ra berkata: bahwasanya seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah hutang kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan." (HR Al-Bukhari).

Seorang wanita dari Khats`am bertanya, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya." (HR Jamaah)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan mempunyai hutang puasa sebulan apakah aku mengqadha’nya? Beliau menjawab: Ya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.

Hadis-hadis diatas menunjukkan bahwasanya orang yang sudah meninggal diberi manfaat oleh hajinya orang yang masih hidup, demikian juga haji dan sedekah, lalu diqiyaskan bacaan al-qur’an kepada haji, puasa dan sedekah.

Ibnu Qudamah berkata: semua hadis diatas shahih dan ini adalah dalil bahwasanya orang yang meninggal diberi manfaat dengan semua ibadah, termasuk puasa, haji, sedekah, istighfar dan doa.

kesimpulan

Secara umum ada dua pendapat dalam masalah menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang yang meninggal.

(1) Pendapat pertama mengingkarinya dan mengatakan tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal karena itu merupakan suatu hal yang tidak bermanfaat bagi si mayyit dan pahalanya tidak akan sampai kepadanya dengan dalil-dalil yang disebutkan diatas.

(2) Pendapat kedua mengatakan bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal merupakan sesuatu yang dibolehkan dan dapat bermanfaat bagi si mayyit dan pahalanya akan sampai kepadanya dengan dalil-dalinya yang disebutkan diatas.

Sebenarnya masalah ini sudah menjadi topik perdebatan para ulama sejak dulu, kita bisa mengambil dan mengikuti pendapat yang kita yakini paling benar atau paling kuat. Dan yang terpenting Al-Quran jangan hanya dijadikan sebagai pengirim hadiah pahala saja, namun mari kita pelajari, baca, tadabburi dan amalkan isi kandungannya.

Dan juga jangan sampai ketika berbeda dalam hal yang masih menjadi perbedaan pendapat membuat hubungan kita sebagai sesama muslim menjadi renggang, silaturrahim dan ukhuwah islamiyah jadi terputus, seakan-akan ada jurang pemisah diantara sesama muslim. Justru seharusnya kita harus bersikap lebih dewasa dan bijak serta bisa menghormati orang lain yang tidak sependapat dengan kita, karena perbedaan pendapat itu adalah suatu keniscayaan.

Wallahu a’lam bishshawab

Jumat, 14 Maret 2014

Istilah Nama-Nama Dalam Mazhab Asy-Syafi’iyah


Dalam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) para ulama dari tiap-tiap mazhab tersebut mempunyai istilah penyebutan khusus untuk menunjukkan ahli fiqih di mazhabnya masing-masing. Diantara istilah yang menunjukkan para ahli fiqih (fuqaha) dari mazhab Asy-Syafi’iyah ialah:

- Apabila disebutkan “Al-Imam”, maka yang dimaksud ialah Imam Al-Haramain, nama lengkap beliau adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini (478 H)

- Apabila disebutkan “Al-Qadhi”, maka yang dimaksud ialah Al-Qadhi Husain Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Marwazi (462 H)

- Apabila disebutkan “Al-Qadhiyan” (2 orang qadhi), maka yang dimaksud ialah Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi (450 H) dan Abdul Wahid bin Ismail bin Ahmad Ar-Ruyani (501 H)

- Apabila disebutkan “Asy-Syaikhan” (2 orang syaikh), maka yang dimaksud ialah Abul Qasim Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim Ar-Rafi’i Al-Quzwaini (634 H) dan Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (677 H)

- Apabila disebutkan “Asy-Syuyukh”, maka yang dimaksud ialah Ar-Rafi’i, An-Nawawi dan Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi As-Subki (756 H)

- Apabila disebutkan “Asy-Syarih”, atau “Asy-Syarih Al-Muhaqqiq”, maka yang dimaksud ialah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim Al-Mahalli (864 H)

- Apabila Al-Khatib Asy-Syirbini menyebut kata “Syaikhi” dalam kitabnya, maka yang dimaksud ialah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad Ar-Ramli (971 H)

- Apabila disebutkan “Syaikhuna”, “Asy-Syaikh” atau “Syaikhul Islam”, maka yang dimaksud ialah Zakaria bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshari (926 H).

Kalau dalam mazhab Syafi'i ada yang bergelar Syaikhul Islam, dalam mazhab Hanbali pun juga ada yang bergelar Syaikhul Islam, yaitu Abul Abbas Ibnu Taimiyah.

Rahimahumullah al-jami' wa nafa'anallahu bi'ulumihim...