Minggu, 15 Desember 2013

Ma Infarada Bihi Al-Hanafiyah

Untuk mengenali suatu mazhab tertentu, kita bisa melihat dari pendapat mazhab itu yang berbeda dengan pendapat jumhur atau pendapat yang sudah berkembang di tengah umat Islam. Dan ini bisa diketahui dengan belajar fikih perbandingan.

Misalnya mazhab Al Hanafiyah, mereka punya pendapat yang menyendiri atau yang dikenal dengan istilah ‘Ma Infarada Bihi Al-Hanafiyah’. Ternyata perbedaan pendapat mazhab Al-Hanafiyah dengan pendapat mazhab lainnya lumayan banyak yang terjadi, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa mazhab yang paling banyak berbeda dengan mazhab lainnya ialah mazhab Al-Hanafiyah.

Tidak Menjaharkan Lafazh Amin

Seorang Imam disunnahkan untuk menjaharkan (mengeraskan) bacaan pada shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh), baik bacaan surat Al-Fatihah atau pun bacaan ayat Al-Quran lainnya. Dan setelah membaca surah Al-Fatihah, baik imam dan makmum sama-sama disunnahkan membaca lafazh ”amin” yang dikeraskan.

Namun mazhab Al-Hanafiyah tidak menyunnahkan bacaan amin ini, tidak kepada imam dan tidak juga kepada makmum, bahkan untuk orang yang shalatnya sendirian pun juga tidak.

Ada cerita dari salah seorang ustadz kita, ada orang Indonesia yang berkunjung ke Turki untuk pertama kalinya dan shalat Maghrib di salah satu masjid disana, ketika imam sudah selesai membaca surah Al-Fatihah, ia langsung mengucapkan amin dan menyaringkannya, namun ternyata cuma dia sendirian yang menyaringkannya makmum yang lain tidak.

Selidik punya selidik, ternyata di Turki mayoritas warganya bermazhab Hanafi, makanya setelah membaca surah Al-Fatihah mereka tidak mengeraskan bacaan amin. Dan sebagaimana diketahui bersama bahwa pada zaman pemerintahan Daulah Turki Usmani dulu mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi negara.

Jadi gak kebayang gimana keadaannya, disaat yang lain gak mengeraskan bacaan amin, cuma kita sendirian saja yang mengeraskannya. Mungkin setelah selesai salam langsung ngacir kabur keluar.

IMAM AL KASANI DAN KITABNYA

Mungkin bagi sebagian orang nama diatas terdengar agak asing. Ya, Imam Al Kasani adalah penulis kitab Bada’i Ash Shana’i Fi Tartib Asy Syara’i atau biasa disingkat dengan Bada’i Ash Shana’i. Beliau dilahirkan di Kasan, kadang orang-orang dulu menyebutnya Qasyan, dan sekarang dikenal dengan nama Kazan, daerah yang terletak di sebelah tenggara Uzbekistan, tidak terlalu jauh jaraknya dengan tempat kelahiran Imam Bukhari, kota Bukhara (Buxoro).

Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad Al Kasani, tidak diketahui pasti kapan tahun lahirnya, meninggal tahun 587 H di Halab atau yang sekarang dikenal dengan nama kota Aleppo, kota terbesar kedua setelah ibukota Suriah, Damaskus.

Kitab Bada’i Ash Shana’i adalah uraian atau syarah dari kitab At Tuhfah (Tuhfatul Fuqaha) karya guru beliau yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Abu Ahmad As Samarqandi (w 540 H) atau yang lebih dikenal dengan nama Imam As Samarqandi, seorang ulama besar ahli fiqih dari mazhab Hanafi.

Kitab ini meskipun mensyarah isi kitab At Tuhfah, namun isinya tidak melulu tentang fiqih mazhab Hanafi saja, tetapi penulisnya juga memasukkan pendapat para ulama dari mazhab lain beserta dalil-dalilnya, seperti mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan lain sebagainya. Sehingga kitab ini bisa dikatakan sebagai salah satu kitab yang bergenre fiqih perbandingan.

Diantara keistimewaan kitab ini adalah bahasanya mudah dan ringan tapi bagi yang belum bisa berbahasa Arab tetap aja susah (mohon maaf bagi yang belum bisa bahasa Arab). Diterbitkan untuk pertama kalinya dengan 7 jilid besar di Kairo pada tahun 1327 H, dengan bantuan 2 orang penduduk Halab dari keluarga Al Jabiri, yang sebelumnya manuskrip atau naskah asli kitabnya berada pada salah satu dari keduanya.

Ada cerita yang menarik tentang Imam Al Kasani, diceritakan bahwa Imam As Samarqandi menikahkan putrinya yang bernama Fathimah dengan Imam Al Kasani dengan menjadikan kitab Bada’i Ash Shana’i sebagai maharnya.

Putri sang guru yang bernama fathimah itu adalah wanita terbaik di zamannya. Cantik rupawan dan pintar ilmu agama, belajar fikih langsung dari ayahnya bahkan dia hafal diluar kepala isi kitab At Tuhfah yang dikarang oleh ayahnya, maka wajar banyak laki-laki yang ingin mempersuntingnya, bahkan banyak dari kalangan raja dinasti Romawi yang ingin meminangnya tetapi semua ditolak karena tidak ada yang yang berkenan di hati sang guru.

Sampai suatu hari ada seorang murid yang datang belajar kepada Imam As Samarqandi, lalu murid ini terkenal dengan kerajinan, ketekunan dan kepintarannya serta cepat faham pelajaran yang diajarkan, hingga pada suatu hari sang murid datang kehadapan gurunya dengan membawa syarah dari isi kitab gurunya yang bernama At Tuhfah itu, melihat syarah kitab tersebut sang guru merasa senang sekali lalu murid tersebut dinikahkanlah dengan putrinya dengan syarah kitab tersebut sebagai maharnya.

Syarah kitab tersebut bernama Bada’i Ash Shana’i dan sang murid tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah Imam Al Kasani. Berkata para ulama di zamannya: “Syaraha tuhfatahu wa zawwajahu ibnatahu” (Dia mensyarah kitab gurunya, lalu mendapatkan putrinya).

Mungkin karena terinspirasi dari cerita diatas ada sebagian orang yang menjadikan kitab atau buku sebagai bagian dari mahar. Kemarin ada yang maharnya kitab tafsir Al Munir karya DR. Wahbah Zuhaili, ada juga 100 buku bacaan sebagai bagian dari mahar, dan mungkin ada lagi yang lainnya.

Wallahu A'lam