Minggu, 13 Oktober 2013

Etika Berkomentar

Tidak mentang-mentang internet itu media untuk bebas berekspresi, lantas kita kehilangan jati diri sebagai muslim.

Setiap muslim tetap saja terikat dengan akhlaq dan norma serta susila berkomunikasi yang baik. Bahkan bila kepada Fir'aun yang mengaku sebagai tuhan saja, Musa as. masih diperintah untuk bertutur bahasa yang sopan, santun dan lembut, apalagi dalam berkomentar menanggapi sebuah ide dan pemikiran. Tentu kita harus jauh lebih santun lagi dalam berbahasa.

Sayangnya kalau selama ini kita amati, masih saja ada cara-cara berkomentar yang kurang mencerminkan akhlaq islami. Padahal kita yakin, tujuannya pasti baik, niatnya pasti tulus. Cuma barangkali kesantunan berbahasa dan berkomunikasinya yang perlu sedikit mendapatkan sentuhan lagi. Agar orang lain yang tidak sependapat tidak merasa tersinggung.

Ciri komunikasi yang baik itu ibarat orang memancing ikan. Tantangannya adalah bagaimana agar ikannya bisa didapat, tetapi airnya tidak harus sampai keruh. Orang yang tidak pandai memancing ikan biasanya tidak sabaran, langsung menceburkan diri ke empang, airnya diubek-ubek sampai butek, bajunya basah semua belepotan lumpur, tetapi sayangnya, tidak satu pun ikan didapatnya.

Oleh karena itu, kalau kita mengaku muslim dan umat Rasulullah SAW, mari budayakan akhlaq mulia dengan berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina, melecehkan, merendahkan atau yang sejenisnya, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar. Sebab semua yang kita tulis juga akan ditulis oleh malaikat, menjadi catatan track record kita selama hidup di dunia.

Menulislah, tetapi menulis yang baik dan bermanfaat, tidak bikin orang marah. Dan jangan menampakkan kesamaan dengan orang yang tidak beriman.


Source: FP Rumah Fiqih Indonesia

Tuduhan Keji Para Orientalis Terhadap Ilmu Fiqih

Para orientalis dan sejarawan Barat yang anti Islam seringkali menghujamkan tuduhan keji kepada ilmu fiqih dan para ulama fiqih. Mereka menuduh bahwa ilmu fiqih tidak lebih sekedar hasil karya para ulama, yang ditulis jauh sepeninggal Rasulullah SAW dan para khulafa’ rasyidah.

Lebih jauh mereka bahkan sampai hati mencemooh para ulama itu sebagai para penjilat penguasa, yang dibayar dengan harga yang pantas untuk meligitimasi kezaliman dan keangkara-murkaan para penindas rakyat.

Mereka sering menghubungkan kelahiran ilmu fiqih dengan masa kehidupan empat imam mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah (70-150 H), Al-Imam Malik (93-179 H), Al-Imam Asy-Syafi’I (150-202 H) dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H).

Tuduhan seperti ini -sayangnya- disenangi oleh banyak mahasiswa muslim yang mendapat beasiswa untuk belajar di negeri para orientalis itu. Dan tanpa punya rasa kritis dan cemburu sedikit pun, para mahasiwa yang lugu itu pun menjadi pemuja dan pembela pemikiran para orientalis, bahkan membanggakan diri sebagai murid dan kader mereka.

Ilmu fiqih tidak punya latar belakang kisah penjilatan kepada para penguasa. Keempat imam mazhab itu, tidak ada satu pun yang menjadi mufti suatu kerajaan, atau menjadi penasehat khalifah tertentu. Malah Imam Malik menolak ketika kitab Al-Muwaththa' karyanya ingin dijadikan kitab resmi negara oleh khalifah. Bahkan beliau pun menolak datang ke istana khalifah ketika khalifah meminta kesediaan beliau untuk mengajar ke istana. Sebaliknya, beliau malah memerintahkan khalifah yang datang berguru ke masjid Nabawi.

Ilmu fiqih bukan ilmu yang baru muncul di masa berikutnya. Ilmu tersebut sudah ada di masa Rasulullah SAW masih hidup. Fiqih lahir, tumbuh dan berkembang bersama dengan perjalanan dakwah Rasulullah SAW dan para shahabat. Karena itu kita mengenal istilah fiqih para shahabat, misalnya Fiqih Abu Bakar, Fiqih Umar, Fiqih Ustman dan juga Fiqih Ali. Sebab mereka ternyata memang ahli fiqih, yang juga sekaligus menjadi pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin umat.

Ilmu fiqih juga bukan semata-mata hasil dari mengarang seenak perut. Sumber ilmu fiqih juga bukan otak dan logika manusia belaka. Tetapi sumber Ilmu Fiqih murni Al-Quran dan As-Sunnah yang diterima lewat sanad yang shahih, dan kemudian dipahami dengan manhaj yang telah dibakukan secara ilmiyah dan diterima oleh seluruh umat Islam.

Memakai Hadits dan Membuang Fiqih

Akibat tidak mengerti dan tidak pernah belajar ilmu fiqih, banyak kalangan yang juga merasa seolah-olah lebih baik belajar hadits saja dan tidak perlu belajar ilmu fiqih. Alasannya, kalau hadits itu perkataan dan perbuatan nabi, sedangkan fiqih itu karangan manusia biasa.

Sayangnya, masih terlalu banyak orang yang berpikir seperti itu. Akhirnya, mereka hanya pakai hadits dan membuang jauh-jauh ilmu fiqih. Dan akibatnya, jadilah mereka zahiri-zahiri abad 21, yang berfatwa tanpa ilmu.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits beliau yang shahih :

إِنّ الله لا يقْبِضُ العِلْم اِنْتِزاعًا ينْتزِعُهُ مِن العِبادِ ولكِنْ يقْبِضُ العِلْم بِقبْضِ العُلماء حتىّ إِذالم يُبْقِ عالِمًا اِتّخذ النّاسُ رُءُوسًا جُهّالاً فسُئِلُوا فأفْتوْا بِغيْرِ عِلْمٍ فضلُّوا وأضلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam yang telah kehilangan para ulama, lantas mereka menjadikan para pemimpin yang bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya masalah agama. Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak orang.

Mereka dikatakan bodoh, sesat dan menyesatkan bukan karena mereka tidak pakai hadits shahih, tetapi karena mereka tidak tahu kandungan tiap hadits yang mereka pakai, mereka hanya tahu zahir nash, tapi tidak tahu kenapa keluar hadits itu, dimana hadits itu disampaikan, kepada siapa Rasulullah SAW menyampaikan hadits ini, dan seperti realitas serta kondisi sosial budaya yang ada di masa beliau.

Lebih parah lagi, mereka menafikan adanya hadits shahih yang lain, yang ternyata secara lahiryah menunjukkan 'pertentangan' dengan hadits yang dibaca. Padahal hadits yang lain itu bersumber dari Rasulullah SAW juga. Alih-alih melakukan thariqatul-jam'i, yang dilakukan adalah sistem gugur. Kalau ada dua hadits shahih bertentangan isinya, maka salah satunya dibuang. La haula wala quwwata illa billah.

Aneh sekali sistem gugur ini. Bagaimana mungkin mereka mengaku ingin menjalankan hadits nabi, tetapi dalam prakteknya hanya mengambil satu hadits yang mereka sukai, sambil membuang hadits nabi yang lain yang tidak mereka sukai. Seolah-olah hadits yang benar itu hanya satu, kalau ada hadits lain dan tidak sesuai dengan 'selera' dan 'nafsu' pribadi, maka hadits lain yang sebenarnya shahih pun bisa dibuang jauh-jauh.

Tindakan ini sama saja dengan menentang dan menginjak-injak hadits Rasulullah SAW, cuma dalam versi yang lain. Kelihatannya membela hadits, tetapi hakikatnya malah kafir kepada hadits.

Lalu bagaimana agar kita bisa menerima semua hadits dari Rasulullah SAW dan tidak menginjak-injaknya?

Mudah saja, pahami semua hadits nabi lewat frame ilmu fiqih. Karena ilmu fiqih pada hakikatnya tidak lain adalah sebuah metodologi bagaimana cara kita memahami semua nash, baik hadits mau pun Al-Quran, kemudian kita menarik kesimpulan hukumnya.

Jadi tidak ada ilmu fiqih kalau tidak pakai hadits, karena fiqih itu adalah proses bagaimana memahami hadits dengan benar, dimana kita harus menggunakan metodologi dengan benar. Seluruh ulama fiqih otomatis mereka adalah ahli hadits.

Selamat belajar ilmu fiqih. Semoga menjadi ulama yang ilmunya bermanfaat buat umat, serta mengalirkan pahala yang tidak pernah berhenti meski kita sudah berada di alam barzakh. Amien...


Source: FP Rumah Fiqih Indonesia

Antara Pewaris dan Ahli Waris

Mungkin ada yang beranggapan menulis masalah ini tidak terlalu penting dan memang sepertinya tidak penting-penting amat, tapi terserah lah itu hak orang mau komentar apa, kita cuma menyampaikan apa yang kita tau.

Orang seringkali bias menggunakan kata ‘pewaris’ dan ‘ahli waris’, seperti ketika menerjemahkan hadits berikut:

إن العلماء ورثة الأنبياء

Setidaknya ada dua terjemahan dari hadis diatas yang pernah kita temui, dan satu diantaranya yang paling sering kita dapati, yaitu:

- “Sesungguhnya para ulama adalah PEWARIS para nabi”

- “Sesungguhnya para ulama adalah AHLI WARIS para nabi”

Agar tidak terjadi salah paham diantara kita dalam membicarakan istilah atau kata-kata yang ada Bahasa Indonesia, siapa tau nanti ada pakar bahasa Indonesia yang protes karena kita keliru menggunakannya, alangkah baiknya kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Pada kata mewarisi dan mewariskan atau ahli waris dan pewaris, orang seringkali keliru membedakan keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan dari. Misalnya kalimat berikut: Karena Abdul adalah anak satu-satunya, maka dialah yang akan mewarisi seluruh harta kekayaan orangtuanya. Maksudnya, Abdul akan memperoleh warisan dari orang tuanya.

Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta warisan kepada atau meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain atau menjadikan orang lain menjadi waris. Misalnya kalimat berikut: H. Jamal mewariskan seratus hektar tanah kepada anaknya yang bernama H. Sulam. Maksudnya, H. Jamal memberikan harta warisan kepada anaknya.

Kata ‘warisan’ artinya sesuatu yang diwariskan (harta pusaka). Misalnya: Toni mendapat warisan yang tidak sedikit jumlahnya.

Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta warisan. Contoh: H. Jali adalah pewaris anak-anaknya. Artinya, H. Jali adalah orang yang memberi harta warisan kepada anak-anaknya.

Lawan dari kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka) dari orang yang telah meninggal. Contoh: Doyok adalah ahli waris dari ayahnya. Artinya, Doyok adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari ayahnya.

Dari penjelasan kata-kata diatas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat kita ketahui bahwa terjemahan yang pas untuk redaksi hadis diatas adalah: “Sesungguhnya para ulama adalah AHLI WARIS para nabi”. Jadi para ulama adalah orang yang mewarisi atau orang yang menerima warisan dari para nabi.

Kalau kita terjemahkan dengan terjemahan “Sesungguhnya para ulama adalah PEWARIS para nabi”. Maka artinya para ulama adalah orang yang mewariskan atau orang yang memberi warisan kepada para nabi.

Mohon dikoreksi kalau ada yang keliru dan salah.

Salam damai dan semoga bermanfaat.:-D