Sabtu, 28 September 2013

Antara Rukun dan Syarat

Sah atau tidaknya sebuah perbuatan tergantung pada rukun dan syaratnya, jika keduanya terpenuhi maka perbuatan tersebut dibilang sah, namun jika tidak tercukupi maka dianggap tidak sah. Alangkah baiknya kita mereview kembali apa itu rukun dan apa itu syarat secara bahasa dan istilah.

Rukun secara etimologi (bahasa) artinya sudut, sisi, tiang dan penyangga. Adapun secara terminologi (istilah) sering didefinisikan dengan:

مَا لاَ وُجُودَ لِذَلِكَ الشَّيْءِ إِلاَّ بِهِ

Apa yang membuat sesuatu tidak akan ada kecuali dengannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rukun didefinisikan dengan: sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.

Nampaknya definisi dari KBBI mirip dengan definisi rukun secara istilah diatas. Bisa disimpulkan yang disebut dengan rukun itu adalah pokok dari sesuatu, dimana sesuatu itu menjadi tidak ada apabila rukunnya tidak terdapat.

Kita ambil contoh saja dalam pernikahan ada rukun nikah, jadi rukun nikah itu artinya adalah bagian-bagian utama dalam suatu pernikahan, yang apabila bagian utama itu tidak didapati, maka pernikahan itu menjadi tidak sah hukumnya.

Adapun syarat bisa diartikan dengan sesuatu yang lazim yang harus ada, atau sering didefinisikan dengan:

مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُودِهِ وُجُودٌ وَلاَ عَدَمٌ لِذَاتِهِ

Segala hal yang mengakibatkan sesuatu menjadi tiada karena ketiadaannya. Dan sebaliknya, meski syarat itu ada, belum tentu sesuatu itu menjadi terwujud atau tidak terwujud secara zatnya.

Sepertinya agak ribet definisi diatas untuk dipahami tanpa sebuah contoh. Misalnya, bersuci itu adalah syarat sah shalat, maka bila seseorang shalat tanpa bersuci, maka shalatnya tidak sah hukumnya. Akan tetapi bila seseorang sudah bersuci, bukan berarti otomatis shalatnya dibilang sah, terkadang orang bersuci tapi bukan bertujuan untuk shalat.

Apa Perbedaan Rukun dan Syarat?

Bisa dibilang rukun dan syarat itu sebelas dua belaslah, keduanya punya hubungan yang erat, karena keberadaan keduanya sangat menentukan sah atau tidak sahnya suatu amal perbuatan. Suatu ibadah tidak akan sah, bila salah satu dari sekian banyak rukunnya tidak terpenuhi. Demikian juga dengan syarat, bila kurang salah satu di antara syarat-syaratnya juga tidak sah.

Tetapi antara rukun dan syarat juga punya perbedaan yang prinsipil, dari segi penamaan dan definisi aja udah beda apalagi tulisan dan bacaannya juga beda, maka tentulah ada perbedaannya meskipun sangat tipis. Sampai-sampai karena saking tipisnya perbedaan itu para ulama seringkali berbeda pendapat tentang apakah suatu perbuatan itu masuk ke dalam rukun atau masuk ke dalam syarat.

Perbedaan yang asasi antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun itu masuk dan berada di dalam ritual ibadah itu sendiri. Sedangkan syarat, tidak masuk ke dalam ritual ibadah, posisinya ada sebelum ibadah itu dilakukan.

Contoh sederhananya begini, bersuci adalah syarat sahnya shalat, dan itu dilakukan sebelum shalat, gak ada ceritanya orang shalat sambil bersuci, bagi yang mau shalat tentu sebelumnya dia sudah bersucinya. Nah dari contoh ini jelas bahwa syarat (bersuci) tidak masuk ke dalam ibadah (shalat) tapi dia berada di luar atau sebelumnya.

Sedangkan rukun, posisinya ada di dalam ibadah itu. Misalnya, membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat, dan itu dikerjakannya di dalam shalat, bukan sebelumnya. Wallahu a'lam.

Sabtu, 21 September 2013

Singapura lebih Islami dari Indonesia?

Kata orang yang pernah berkunjung, jalan-jalan atau plesiran ke Singapura, ternyata Singapura lebih islami daripada Indonesia, padahal orang Islamnya sedikit cuma sekitar 15% aja dari penduduk negara tersebut...

Alasannya dia bilang begitu karena Singapura lebih bersih dari Indonesia, kan kebersihan itu ajaran Islam, Annazhofatu minal iman, disana warganya tertib buang sampah...

Beda dengan di Indonesia, sering bilang kesana-kemari kebersihan itu sebagian dari iman tapi penduduknya jorok-jorok, buang sampah sembarangan, apalagi WC masjidnya banyak yang bau dan kotor...

Coba di Singapura jalanannya bersih dari sampah, WC-nya juga bersih, wangi dan kinclong, misalnya tu WC ditidurin juga gak masalah katanya...

Memang kebersihan itu salah satu dari nilai-nilai Islam, tapi rasanya kurang fair kalau cuma kebersihan aja yang dijadikan tolak ukur islami atau tidaknya, padahal masih banyak nilai-nilai yang lain...

Rasanya agak berlebihan kalau hanya karena Singapura bersih lalu disebut islami. Emangnya kebersihan aja yang satu-satunya nilai Islam? Kebersihan itu lebih bersifat universal, untuk menjadi bersih orang gak harus sebagai muslim...

Mau sebersih apapun WC di Singapura tetap aja yang masuk gak baca doa, memang Singapura bersih dan bersih sesuai dengan ajaran Islam...

Tapi disana judi dilegalkan, ada tempat pelacuran, ada juga tempat pencucian uang hasil berbagai kejahatan, satu lagi Singapura juga jadi tempat pelarian para koruptor Indonesia yang kabur...

Seperti para koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bahkan ada diantara mereka yang sudah jadi warga negara tersebut. Jadi mau bilang Singapura negara yang islami? Mikir-mikir dulu deh. :-p

Sabtu, 14 September 2013

Minal Aidin... Oh Minal Aidin...

Beberapa hari menjelang lebaran, banyak spanduk dan baliho ucapan selamat hari raya yg menghias jalanan, ada dari instansi pemerintah, ormas, perusahaan, dan parpol. Dan yg terakhir inilah yg paling mendominasi.

Biasanya isi redaksi dari satu spanduk ke spanduk yg lain tidak jauh beda, tulisan yg sering kita temui berbunyi seperti ini: "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Minal Aidin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir Batin".

Tapi sebagian masyarakat kita ada yg salah paham, dikira lafadz "Minal Aidin Wal Faidzin" itu artinya mohon maaf lahir batin.

Lafadz ini depannya terpotong, lengkapnya berbunyi: Ja'alanallah minal 'aidin wal faizin, yg artinya: Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yg kembali dan orang yg beruntung.

Atau "ja'alanallahu minal 'aidin ilal fithrati wal faizin fiddunya wal akhirah", semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yg kembali kepada kesucian dan orang yg beruntung di dunia dan akhirat.

Jadi lafadz minal aidin wal faizin adalah potongan dari sebuah doa, dan mohon maaf lahir batin adalah ungkapan permohonan maaf, ini yg perlu diluruskan dan dijelaskan kepada masyarakat, yg satu doa dan yg satu lagi permohonan maaf.

Adapun lafadz taqabbalallahu minna wa minkum adalah merupakan lafadz doa yg intinya kita saling berdoa supaya semua amal ibadah yg kita lakukan diterima Allah SWT.

Lafadz doa ini yg pernah diucapkan Rasulullah SAW ketika bertemu para sahabat di hari raya, seperti yg diriwayatkan oleh Al Wasilah. Dan diriwayatkan bahwa para sahabat ketika bertemu satu sama lain di hari raya mengucapkan: Taqabbalallahu minna wa minka.

Jadi sebenarnya yg lebih ditekankan adalah tahniah, ucapan selamat serta doa agar amal ibadah terkabul, bukan bermaaf-maafan.

Tapi meski tidak diajarkan atau dianjurkan secara khusus, namun bermaaf-maafan dan silaturrahim di hari lebaran juga tidak dilarang, boleh-boleh saja, dan merupakan adat kebiasaan yg baik dan insya Allah tidaj bertentangan dengan syariat Islam.

Akhirnya untuk menutup tulisan ini saya mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Shiyamana Wa Shiyamakum, Ja'alanallahu Minal 'Aidin ilal Fithrati Wal Faizin Fiddunya Wal Akhirah, Mohon Maaf Lahir dan Batin. (Rahmani Nor'id dan keluarga).

Arti Penting Mencatat dengan Teliti





Sebelum kedatangan Imam Asy-Syafi’i (150-204 H) ke Kairo, adalah tiga orang murid Imam Malik ibn Anas (93-185 H) yang menjadi rujukan kemusykilan penduduk Mesir dan Afrika pada umumnya pada zaman itu. Mereka adalah Abdullah ibn Wahab (125-197 H), Abdurrahman ibn Al-Qasim (128-191 H), dan Asyhab ibn Abdil Aziz Al-Qaisi (150-204 H).

Suatu hari, antara Imam Asyhab dan Imam Ibn Al-Qasim terjadi perbedaan pendapat tajam atas suatu persoalan. Maka berkatalah Asyhab, “Aku mendengar Malik berkata begini.” Ibn Al-Qasim menimpali, “Justru aku mendengar Malik tidak berkata seperti itu, melainkan begini.” “Aku bersumpah,” ujar Asyhab yg termuda itu dengan suara meninggi, “bahwa ucapanmu itu keliru!” “Dan akupun bersumpah,” sahut Ibn Al-Qasim, “bahwa engkau salah!”.