Sabtu, 28 September 2013
Sabtu, 21 September 2013
Singapura lebih Islami dari Indonesia?
Kata orang yang pernah berkunjung, jalan-jalan atau plesiran ke
Singapura, ternyata Singapura lebih islami daripada Indonesia, padahal
orang Islamnya sedikit cuma sekitar 15% aja dari penduduk negara
tersebut...
Alasannya dia bilang begitu karena Singapura lebih
bersih dari Indonesia, kan kebersihan itu ajaran Islam, Annazhofatu
minal iman, disana warganya tertib buang sampah...
Beda dengan di Indonesia, sering bilang kesana-kemari kebersihan itu sebagian dari
iman tapi penduduknya jorok-jorok, buang sampah sembarangan, apalagi WC
masjidnya banyak yang bau dan kotor...
Coba di Singapura
jalanannya bersih dari sampah, WC-nya juga bersih, wangi dan kinclong,
misalnya tu WC ditidurin juga gak masalah katanya...
Memang
kebersihan itu salah satu dari nilai-nilai Islam, tapi rasanya kurang
fair kalau cuma kebersihan aja yang dijadikan tolak ukur islami atau
tidaknya, padahal masih banyak nilai-nilai yang lain...
Rasanya
agak berlebihan kalau hanya karena Singapura bersih lalu disebut islami.
Emangnya kebersihan aja yang satu-satunya nilai Islam? Kebersihan itu
lebih bersifat universal, untuk menjadi bersih orang gak harus sebagai
muslim...
Mau sebersih apapun WC di Singapura tetap aja yang
masuk gak baca doa, memang Singapura bersih dan bersih sesuai dengan
ajaran Islam...
Tapi disana judi dilegalkan, ada tempat
pelacuran, ada juga tempat pencucian uang hasil berbagai kejahatan, satu lagi
Singapura juga jadi tempat pelarian para koruptor Indonesia yang kabur...
Seperti para koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bahkan ada diantara mereka yang sudah jadi
warga negara tersebut. Jadi mau bilang Singapura negara yang islami?
Mikir-mikir dulu deh. :-p
Sabtu, 14 September 2013
Minal Aidin... Oh Minal Aidin...
Biasanya isi redaksi dari satu spanduk ke spanduk yg lain tidak jauh beda, tulisan yg sering kita temui berbunyi seperti ini: "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Minal Aidin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir Batin".
Tapi sebagian masyarakat kita ada yg salah paham, dikira lafadz "Minal Aidin Wal Faidzin" itu artinya mohon maaf lahir batin.
Lafadz ini depannya terpotong, lengkapnya berbunyi: Ja'alanallah minal 'aidin wal faizin, yg artinya: Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yg kembali dan orang yg beruntung.
Atau "ja'alanallahu minal 'aidin ilal fithrati wal faizin fiddunya wal akhirah", semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yg kembali kepada kesucian dan orang yg beruntung di dunia dan akhirat.
Jadi lafadz minal aidin wal faizin adalah potongan dari sebuah doa, dan mohon maaf lahir batin adalah ungkapan permohonan maaf, ini yg perlu diluruskan dan dijelaskan kepada masyarakat, yg satu doa dan yg satu lagi permohonan maaf.
Adapun lafadz taqabbalallahu minna wa minkum adalah merupakan lafadz doa yg intinya kita saling berdoa supaya semua amal ibadah yg kita lakukan diterima Allah SWT.
Lafadz doa ini yg pernah diucapkan Rasulullah SAW ketika bertemu para sahabat di hari raya, seperti yg diriwayatkan oleh Al Wasilah. Dan diriwayatkan bahwa para sahabat ketika bertemu satu sama lain di hari raya mengucapkan: Taqabbalallahu minna wa minka.
Jadi sebenarnya yg lebih ditekankan adalah tahniah, ucapan selamat serta doa agar amal ibadah terkabul, bukan bermaaf-maafan.
Tapi meski tidak diajarkan atau dianjurkan secara khusus, namun bermaaf-maafan dan silaturrahim di hari lebaran juga tidak dilarang, boleh-boleh saja, dan merupakan adat kebiasaan yg baik dan insya Allah tidaj bertentangan dengan syariat Islam.
Akhirnya untuk menutup tulisan ini saya mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Shiyamana Wa Shiyamakum, Ja'alanallahu Minal 'Aidin ilal Fithrati Wal Faizin Fiddunya Wal Akhirah, Mohon Maaf Lahir dan Batin. (Rahmani Nor'id dan keluarga).
Arti Penting Mencatat dengan Teliti
Sebelum kedatangan Imam
Asy-Syafi’i (150-204 H) ke Kairo, adalah tiga orang murid Imam Malik ibn Anas
(93-185 H) yang menjadi rujukan kemusykilan penduduk Mesir dan Afrika pada
umumnya pada zaman itu. Mereka adalah Abdullah ibn Wahab (125-197 H),
Abdurrahman ibn Al-Qasim (128-191 H), dan Asyhab ibn Abdil Aziz Al-Qaisi
(150-204 H).
Suatu hari, antara Imam Asyhab
dan Imam Ibn Al-Qasim terjadi perbedaan pendapat tajam atas suatu persoalan.
Maka berkatalah Asyhab, “Aku mendengar Malik berkata begini.” Ibn Al-Qasim
menimpali, “Justru aku mendengar Malik tidak berkata seperti itu, melainkan
begini.” “Aku bersumpah,” ujar Asyhab yg termuda itu dengan suara meninggi,
“bahwa ucapanmu itu keliru!” “Dan akupun bersumpah,” sahut Ibn Al-Qasim, “bahwa
engkau salah!”.
Langganan:
Postingan (Atom)