Minggu, 15 Desember 2013

Ma Infarada Bihi Al-Hanafiyah

Untuk mengenali suatu mazhab tertentu, kita bisa melihat dari pendapat mazhab itu yang berbeda dengan pendapat jumhur atau pendapat yang sudah berkembang di tengah umat Islam. Dan ini bisa diketahui dengan belajar fikih perbandingan.

Misalnya mazhab Al Hanafiyah, mereka punya pendapat yang menyendiri atau yang dikenal dengan istilah ‘Ma Infarada Bihi Al-Hanafiyah’. Ternyata perbedaan pendapat mazhab Al-Hanafiyah dengan pendapat mazhab lainnya lumayan banyak yang terjadi, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa mazhab yang paling banyak berbeda dengan mazhab lainnya ialah mazhab Al-Hanafiyah.

Tidak Menjaharkan Lafazh Amin

Seorang Imam disunnahkan untuk menjaharkan (mengeraskan) bacaan pada shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh), baik bacaan surat Al-Fatihah atau pun bacaan ayat Al-Quran lainnya. Dan setelah membaca surah Al-Fatihah, baik imam dan makmum sama-sama disunnahkan membaca lafazh ”amin” yang dikeraskan.

Namun mazhab Al-Hanafiyah tidak menyunnahkan bacaan amin ini, tidak kepada imam dan tidak juga kepada makmum, bahkan untuk orang yang shalatnya sendirian pun juga tidak.

Ada cerita dari salah seorang ustadz kita, ada orang Indonesia yang berkunjung ke Turki untuk pertama kalinya dan shalat Maghrib di salah satu masjid disana, ketika imam sudah selesai membaca surah Al-Fatihah, ia langsung mengucapkan amin dan menyaringkannya, namun ternyata cuma dia sendirian yang menyaringkannya makmum yang lain tidak.

Selidik punya selidik, ternyata di Turki mayoritas warganya bermazhab Hanafi, makanya setelah membaca surah Al-Fatihah mereka tidak mengeraskan bacaan amin. Dan sebagaimana diketahui bersama bahwa pada zaman pemerintahan Daulah Turki Usmani dulu mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi negara.

Jadi gak kebayang gimana keadaannya, disaat yang lain gak mengeraskan bacaan amin, cuma kita sendirian saja yang mengeraskannya. Mungkin setelah selesai salam langsung ngacir kabur keluar.

IMAM AL KASANI DAN KITABNYA

Mungkin bagi sebagian orang nama diatas terdengar agak asing. Ya, Imam Al Kasani adalah penulis kitab Bada’i Ash Shana’i Fi Tartib Asy Syara’i atau biasa disingkat dengan Bada’i Ash Shana’i. Beliau dilahirkan di Kasan, kadang orang-orang dulu menyebutnya Qasyan, dan sekarang dikenal dengan nama Kazan, daerah yang terletak di sebelah tenggara Uzbekistan, tidak terlalu jauh jaraknya dengan tempat kelahiran Imam Bukhari, kota Bukhara (Buxoro).

Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad Al Kasani, tidak diketahui pasti kapan tahun lahirnya, meninggal tahun 587 H di Halab atau yang sekarang dikenal dengan nama kota Aleppo, kota terbesar kedua setelah ibukota Suriah, Damaskus.

Kitab Bada’i Ash Shana’i adalah uraian atau syarah dari kitab At Tuhfah (Tuhfatul Fuqaha) karya guru beliau yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Abu Ahmad As Samarqandi (w 540 H) atau yang lebih dikenal dengan nama Imam As Samarqandi, seorang ulama besar ahli fiqih dari mazhab Hanafi.

Kitab ini meskipun mensyarah isi kitab At Tuhfah, namun isinya tidak melulu tentang fiqih mazhab Hanafi saja, tetapi penulisnya juga memasukkan pendapat para ulama dari mazhab lain beserta dalil-dalilnya, seperti mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan lain sebagainya. Sehingga kitab ini bisa dikatakan sebagai salah satu kitab yang bergenre fiqih perbandingan.

Diantara keistimewaan kitab ini adalah bahasanya mudah dan ringan tapi bagi yang belum bisa berbahasa Arab tetap aja susah (mohon maaf bagi yang belum bisa bahasa Arab). Diterbitkan untuk pertama kalinya dengan 7 jilid besar di Kairo pada tahun 1327 H, dengan bantuan 2 orang penduduk Halab dari keluarga Al Jabiri, yang sebelumnya manuskrip atau naskah asli kitabnya berada pada salah satu dari keduanya.

Ada cerita yang menarik tentang Imam Al Kasani, diceritakan bahwa Imam As Samarqandi menikahkan putrinya yang bernama Fathimah dengan Imam Al Kasani dengan menjadikan kitab Bada’i Ash Shana’i sebagai maharnya.

Putri sang guru yang bernama fathimah itu adalah wanita terbaik di zamannya. Cantik rupawan dan pintar ilmu agama, belajar fikih langsung dari ayahnya bahkan dia hafal diluar kepala isi kitab At Tuhfah yang dikarang oleh ayahnya, maka wajar banyak laki-laki yang ingin mempersuntingnya, bahkan banyak dari kalangan raja dinasti Romawi yang ingin meminangnya tetapi semua ditolak karena tidak ada yang yang berkenan di hati sang guru.

Sampai suatu hari ada seorang murid yang datang belajar kepada Imam As Samarqandi, lalu murid ini terkenal dengan kerajinan, ketekunan dan kepintarannya serta cepat faham pelajaran yang diajarkan, hingga pada suatu hari sang murid datang kehadapan gurunya dengan membawa syarah dari isi kitab gurunya yang bernama At Tuhfah itu, melihat syarah kitab tersebut sang guru merasa senang sekali lalu murid tersebut dinikahkanlah dengan putrinya dengan syarah kitab tersebut sebagai maharnya.

Syarah kitab tersebut bernama Bada’i Ash Shana’i dan sang murid tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah Imam Al Kasani. Berkata para ulama di zamannya: “Syaraha tuhfatahu wa zawwajahu ibnatahu” (Dia mensyarah kitab gurunya, lalu mendapatkan putrinya).

Mungkin karena terinspirasi dari cerita diatas ada sebagian orang yang menjadikan kitab atau buku sebagai bagian dari mahar. Kemarin ada yang maharnya kitab tafsir Al Munir karya DR. Wahbah Zuhaili, ada juga 100 buku bacaan sebagai bagian dari mahar, dan mungkin ada lagi yang lainnya.

Wallahu A'lam

Minggu, 13 Oktober 2013

Etika Berkomentar

Tidak mentang-mentang internet itu media untuk bebas berekspresi, lantas kita kehilangan jati diri sebagai muslim.

Setiap muslim tetap saja terikat dengan akhlaq dan norma serta susila berkomunikasi yang baik. Bahkan bila kepada Fir'aun yang mengaku sebagai tuhan saja, Musa as. masih diperintah untuk bertutur bahasa yang sopan, santun dan lembut, apalagi dalam berkomentar menanggapi sebuah ide dan pemikiran. Tentu kita harus jauh lebih santun lagi dalam berbahasa.

Sayangnya kalau selama ini kita amati, masih saja ada cara-cara berkomentar yang kurang mencerminkan akhlaq islami. Padahal kita yakin, tujuannya pasti baik, niatnya pasti tulus. Cuma barangkali kesantunan berbahasa dan berkomunikasinya yang perlu sedikit mendapatkan sentuhan lagi. Agar orang lain yang tidak sependapat tidak merasa tersinggung.

Ciri komunikasi yang baik itu ibarat orang memancing ikan. Tantangannya adalah bagaimana agar ikannya bisa didapat, tetapi airnya tidak harus sampai keruh. Orang yang tidak pandai memancing ikan biasanya tidak sabaran, langsung menceburkan diri ke empang, airnya diubek-ubek sampai butek, bajunya basah semua belepotan lumpur, tetapi sayangnya, tidak satu pun ikan didapatnya.

Oleh karena itu, kalau kita mengaku muslim dan umat Rasulullah SAW, mari budayakan akhlaq mulia dengan berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina, melecehkan, merendahkan atau yang sejenisnya, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar. Sebab semua yang kita tulis juga akan ditulis oleh malaikat, menjadi catatan track record kita selama hidup di dunia.

Menulislah, tetapi menulis yang baik dan bermanfaat, tidak bikin orang marah. Dan jangan menampakkan kesamaan dengan orang yang tidak beriman.


Source: FP Rumah Fiqih Indonesia

Tuduhan Keji Para Orientalis Terhadap Ilmu Fiqih

Para orientalis dan sejarawan Barat yang anti Islam seringkali menghujamkan tuduhan keji kepada ilmu fiqih dan para ulama fiqih. Mereka menuduh bahwa ilmu fiqih tidak lebih sekedar hasil karya para ulama, yang ditulis jauh sepeninggal Rasulullah SAW dan para khulafa’ rasyidah.

Lebih jauh mereka bahkan sampai hati mencemooh para ulama itu sebagai para penjilat penguasa, yang dibayar dengan harga yang pantas untuk meligitimasi kezaliman dan keangkara-murkaan para penindas rakyat.

Mereka sering menghubungkan kelahiran ilmu fiqih dengan masa kehidupan empat imam mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah (70-150 H), Al-Imam Malik (93-179 H), Al-Imam Asy-Syafi’I (150-202 H) dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H).

Tuduhan seperti ini -sayangnya- disenangi oleh banyak mahasiswa muslim yang mendapat beasiswa untuk belajar di negeri para orientalis itu. Dan tanpa punya rasa kritis dan cemburu sedikit pun, para mahasiwa yang lugu itu pun menjadi pemuja dan pembela pemikiran para orientalis, bahkan membanggakan diri sebagai murid dan kader mereka.

Ilmu fiqih tidak punya latar belakang kisah penjilatan kepada para penguasa. Keempat imam mazhab itu, tidak ada satu pun yang menjadi mufti suatu kerajaan, atau menjadi penasehat khalifah tertentu. Malah Imam Malik menolak ketika kitab Al-Muwaththa' karyanya ingin dijadikan kitab resmi negara oleh khalifah. Bahkan beliau pun menolak datang ke istana khalifah ketika khalifah meminta kesediaan beliau untuk mengajar ke istana. Sebaliknya, beliau malah memerintahkan khalifah yang datang berguru ke masjid Nabawi.

Ilmu fiqih bukan ilmu yang baru muncul di masa berikutnya. Ilmu tersebut sudah ada di masa Rasulullah SAW masih hidup. Fiqih lahir, tumbuh dan berkembang bersama dengan perjalanan dakwah Rasulullah SAW dan para shahabat. Karena itu kita mengenal istilah fiqih para shahabat, misalnya Fiqih Abu Bakar, Fiqih Umar, Fiqih Ustman dan juga Fiqih Ali. Sebab mereka ternyata memang ahli fiqih, yang juga sekaligus menjadi pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin umat.

Ilmu fiqih juga bukan semata-mata hasil dari mengarang seenak perut. Sumber ilmu fiqih juga bukan otak dan logika manusia belaka. Tetapi sumber Ilmu Fiqih murni Al-Quran dan As-Sunnah yang diterima lewat sanad yang shahih, dan kemudian dipahami dengan manhaj yang telah dibakukan secara ilmiyah dan diterima oleh seluruh umat Islam.

Memakai Hadits dan Membuang Fiqih

Akibat tidak mengerti dan tidak pernah belajar ilmu fiqih, banyak kalangan yang juga merasa seolah-olah lebih baik belajar hadits saja dan tidak perlu belajar ilmu fiqih. Alasannya, kalau hadits itu perkataan dan perbuatan nabi, sedangkan fiqih itu karangan manusia biasa.

Sayangnya, masih terlalu banyak orang yang berpikir seperti itu. Akhirnya, mereka hanya pakai hadits dan membuang jauh-jauh ilmu fiqih. Dan akibatnya, jadilah mereka zahiri-zahiri abad 21, yang berfatwa tanpa ilmu.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits beliau yang shahih :

إِنّ الله لا يقْبِضُ العِلْم اِنْتِزاعًا ينْتزِعُهُ مِن العِبادِ ولكِنْ يقْبِضُ العِلْم بِقبْضِ العُلماء حتىّ إِذالم يُبْقِ عالِمًا اِتّخذ النّاسُ رُءُوسًا جُهّالاً فسُئِلُوا فأفْتوْا بِغيْرِ عِلْمٍ فضلُّوا وأضلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam yang telah kehilangan para ulama, lantas mereka menjadikan para pemimpin yang bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya masalah agama. Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak orang.

Mereka dikatakan bodoh, sesat dan menyesatkan bukan karena mereka tidak pakai hadits shahih, tetapi karena mereka tidak tahu kandungan tiap hadits yang mereka pakai, mereka hanya tahu zahir nash, tapi tidak tahu kenapa keluar hadits itu, dimana hadits itu disampaikan, kepada siapa Rasulullah SAW menyampaikan hadits ini, dan seperti realitas serta kondisi sosial budaya yang ada di masa beliau.

Lebih parah lagi, mereka menafikan adanya hadits shahih yang lain, yang ternyata secara lahiryah menunjukkan 'pertentangan' dengan hadits yang dibaca. Padahal hadits yang lain itu bersumber dari Rasulullah SAW juga. Alih-alih melakukan thariqatul-jam'i, yang dilakukan adalah sistem gugur. Kalau ada dua hadits shahih bertentangan isinya, maka salah satunya dibuang. La haula wala quwwata illa billah.

Aneh sekali sistem gugur ini. Bagaimana mungkin mereka mengaku ingin menjalankan hadits nabi, tetapi dalam prakteknya hanya mengambil satu hadits yang mereka sukai, sambil membuang hadits nabi yang lain yang tidak mereka sukai. Seolah-olah hadits yang benar itu hanya satu, kalau ada hadits lain dan tidak sesuai dengan 'selera' dan 'nafsu' pribadi, maka hadits lain yang sebenarnya shahih pun bisa dibuang jauh-jauh.

Tindakan ini sama saja dengan menentang dan menginjak-injak hadits Rasulullah SAW, cuma dalam versi yang lain. Kelihatannya membela hadits, tetapi hakikatnya malah kafir kepada hadits.

Lalu bagaimana agar kita bisa menerima semua hadits dari Rasulullah SAW dan tidak menginjak-injaknya?

Mudah saja, pahami semua hadits nabi lewat frame ilmu fiqih. Karena ilmu fiqih pada hakikatnya tidak lain adalah sebuah metodologi bagaimana cara kita memahami semua nash, baik hadits mau pun Al-Quran, kemudian kita menarik kesimpulan hukumnya.

Jadi tidak ada ilmu fiqih kalau tidak pakai hadits, karena fiqih itu adalah proses bagaimana memahami hadits dengan benar, dimana kita harus menggunakan metodologi dengan benar. Seluruh ulama fiqih otomatis mereka adalah ahli hadits.

Selamat belajar ilmu fiqih. Semoga menjadi ulama yang ilmunya bermanfaat buat umat, serta mengalirkan pahala yang tidak pernah berhenti meski kita sudah berada di alam barzakh. Amien...


Source: FP Rumah Fiqih Indonesia

Antara Pewaris dan Ahli Waris

Mungkin ada yang beranggapan menulis masalah ini tidak terlalu penting dan memang sepertinya tidak penting-penting amat, tapi terserah lah itu hak orang mau komentar apa, kita cuma menyampaikan apa yang kita tau.

Orang seringkali bias menggunakan kata ‘pewaris’ dan ‘ahli waris’, seperti ketika menerjemahkan hadits berikut:

إن العلماء ورثة الأنبياء

Setidaknya ada dua terjemahan dari hadis diatas yang pernah kita temui, dan satu diantaranya yang paling sering kita dapati, yaitu:

- “Sesungguhnya para ulama adalah PEWARIS para nabi”

- “Sesungguhnya para ulama adalah AHLI WARIS para nabi”

Agar tidak terjadi salah paham diantara kita dalam membicarakan istilah atau kata-kata yang ada Bahasa Indonesia, siapa tau nanti ada pakar bahasa Indonesia yang protes karena kita keliru menggunakannya, alangkah baiknya kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Pada kata mewarisi dan mewariskan atau ahli waris dan pewaris, orang seringkali keliru membedakan keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan dari. Misalnya kalimat berikut: Karena Abdul adalah anak satu-satunya, maka dialah yang akan mewarisi seluruh harta kekayaan orangtuanya. Maksudnya, Abdul akan memperoleh warisan dari orang tuanya.

Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta warisan kepada atau meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain atau menjadikan orang lain menjadi waris. Misalnya kalimat berikut: H. Jamal mewariskan seratus hektar tanah kepada anaknya yang bernama H. Sulam. Maksudnya, H. Jamal memberikan harta warisan kepada anaknya.

Kata ‘warisan’ artinya sesuatu yang diwariskan (harta pusaka). Misalnya: Toni mendapat warisan yang tidak sedikit jumlahnya.

Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta warisan. Contoh: H. Jali adalah pewaris anak-anaknya. Artinya, H. Jali adalah orang yang memberi harta warisan kepada anak-anaknya.

Lawan dari kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka) dari orang yang telah meninggal. Contoh: Doyok adalah ahli waris dari ayahnya. Artinya, Doyok adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari ayahnya.

Dari penjelasan kata-kata diatas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat kita ketahui bahwa terjemahan yang pas untuk redaksi hadis diatas adalah: “Sesungguhnya para ulama adalah AHLI WARIS para nabi”. Jadi para ulama adalah orang yang mewarisi atau orang yang menerima warisan dari para nabi.

Kalau kita terjemahkan dengan terjemahan “Sesungguhnya para ulama adalah PEWARIS para nabi”. Maka artinya para ulama adalah orang yang mewariskan atau orang yang memberi warisan kepada para nabi.

Mohon dikoreksi kalau ada yang keliru dan salah.

Salam damai dan semoga bermanfaat.:-D

Sabtu, 28 September 2013

Antara Rukun dan Syarat

Sah atau tidaknya sebuah perbuatan tergantung pada rukun dan syaratnya, jika keduanya terpenuhi maka perbuatan tersebut dibilang sah, namun jika tidak tercukupi maka dianggap tidak sah. Alangkah baiknya kita mereview kembali apa itu rukun dan apa itu syarat secara bahasa dan istilah.

Rukun secara etimologi (bahasa) artinya sudut, sisi, tiang dan penyangga. Adapun secara terminologi (istilah) sering didefinisikan dengan:

مَا لاَ وُجُودَ لِذَلِكَ الشَّيْءِ إِلاَّ بِهِ

Apa yang membuat sesuatu tidak akan ada kecuali dengannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rukun didefinisikan dengan: sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.

Nampaknya definisi dari KBBI mirip dengan definisi rukun secara istilah diatas. Bisa disimpulkan yang disebut dengan rukun itu adalah pokok dari sesuatu, dimana sesuatu itu menjadi tidak ada apabila rukunnya tidak terdapat.

Kita ambil contoh saja dalam pernikahan ada rukun nikah, jadi rukun nikah itu artinya adalah bagian-bagian utama dalam suatu pernikahan, yang apabila bagian utama itu tidak didapati, maka pernikahan itu menjadi tidak sah hukumnya.

Adapun syarat bisa diartikan dengan sesuatu yang lazim yang harus ada, atau sering didefinisikan dengan:

مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُودِهِ وُجُودٌ وَلاَ عَدَمٌ لِذَاتِهِ

Segala hal yang mengakibatkan sesuatu menjadi tiada karena ketiadaannya. Dan sebaliknya, meski syarat itu ada, belum tentu sesuatu itu menjadi terwujud atau tidak terwujud secara zatnya.

Sepertinya agak ribet definisi diatas untuk dipahami tanpa sebuah contoh. Misalnya, bersuci itu adalah syarat sah shalat, maka bila seseorang shalat tanpa bersuci, maka shalatnya tidak sah hukumnya. Akan tetapi bila seseorang sudah bersuci, bukan berarti otomatis shalatnya dibilang sah, terkadang orang bersuci tapi bukan bertujuan untuk shalat.

Apa Perbedaan Rukun dan Syarat?

Bisa dibilang rukun dan syarat itu sebelas dua belaslah, keduanya punya hubungan yang erat, karena keberadaan keduanya sangat menentukan sah atau tidak sahnya suatu amal perbuatan. Suatu ibadah tidak akan sah, bila salah satu dari sekian banyak rukunnya tidak terpenuhi. Demikian juga dengan syarat, bila kurang salah satu di antara syarat-syaratnya juga tidak sah.

Tetapi antara rukun dan syarat juga punya perbedaan yang prinsipil, dari segi penamaan dan definisi aja udah beda apalagi tulisan dan bacaannya juga beda, maka tentulah ada perbedaannya meskipun sangat tipis. Sampai-sampai karena saking tipisnya perbedaan itu para ulama seringkali berbeda pendapat tentang apakah suatu perbuatan itu masuk ke dalam rukun atau masuk ke dalam syarat.

Perbedaan yang asasi antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun itu masuk dan berada di dalam ritual ibadah itu sendiri. Sedangkan syarat, tidak masuk ke dalam ritual ibadah, posisinya ada sebelum ibadah itu dilakukan.

Contoh sederhananya begini, bersuci adalah syarat sahnya shalat, dan itu dilakukan sebelum shalat, gak ada ceritanya orang shalat sambil bersuci, bagi yang mau shalat tentu sebelumnya dia sudah bersucinya. Nah dari contoh ini jelas bahwa syarat (bersuci) tidak masuk ke dalam ibadah (shalat) tapi dia berada di luar atau sebelumnya.

Sedangkan rukun, posisinya ada di dalam ibadah itu. Misalnya, membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat, dan itu dikerjakannya di dalam shalat, bukan sebelumnya. Wallahu a'lam.

Sabtu, 21 September 2013

Singapura lebih Islami dari Indonesia?

Kata orang yang pernah berkunjung, jalan-jalan atau plesiran ke Singapura, ternyata Singapura lebih islami daripada Indonesia, padahal orang Islamnya sedikit cuma sekitar 15% aja dari penduduk negara tersebut...

Alasannya dia bilang begitu karena Singapura lebih bersih dari Indonesia, kan kebersihan itu ajaran Islam, Annazhofatu minal iman, disana warganya tertib buang sampah...

Beda dengan di Indonesia, sering bilang kesana-kemari kebersihan itu sebagian dari iman tapi penduduknya jorok-jorok, buang sampah sembarangan, apalagi WC masjidnya banyak yang bau dan kotor...

Coba di Singapura jalanannya bersih dari sampah, WC-nya juga bersih, wangi dan kinclong, misalnya tu WC ditidurin juga gak masalah katanya...

Memang kebersihan itu salah satu dari nilai-nilai Islam, tapi rasanya kurang fair kalau cuma kebersihan aja yang dijadikan tolak ukur islami atau tidaknya, padahal masih banyak nilai-nilai yang lain...

Rasanya agak berlebihan kalau hanya karena Singapura bersih lalu disebut islami. Emangnya kebersihan aja yang satu-satunya nilai Islam? Kebersihan itu lebih bersifat universal, untuk menjadi bersih orang gak harus sebagai muslim...

Mau sebersih apapun WC di Singapura tetap aja yang masuk gak baca doa, memang Singapura bersih dan bersih sesuai dengan ajaran Islam...

Tapi disana judi dilegalkan, ada tempat pelacuran, ada juga tempat pencucian uang hasil berbagai kejahatan, satu lagi Singapura juga jadi tempat pelarian para koruptor Indonesia yang kabur...

Seperti para koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bahkan ada diantara mereka yang sudah jadi warga negara tersebut. Jadi mau bilang Singapura negara yang islami? Mikir-mikir dulu deh. :-p

Sabtu, 14 September 2013

Minal Aidin... Oh Minal Aidin...

Beberapa hari menjelang lebaran, banyak spanduk dan baliho ucapan selamat hari raya yg menghias jalanan, ada dari instansi pemerintah, ormas, perusahaan, dan parpol. Dan yg terakhir inilah yg paling mendominasi.

Biasanya isi redaksi dari satu spanduk ke spanduk yg lain tidak jauh beda, tulisan yg sering kita temui berbunyi seperti ini: "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Minal Aidin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir Batin".

Tapi sebagian masyarakat kita ada yg salah paham, dikira lafadz "Minal Aidin Wal Faidzin" itu artinya mohon maaf lahir batin.

Lafadz ini depannya terpotong, lengkapnya berbunyi: Ja'alanallah minal 'aidin wal faizin, yg artinya: Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yg kembali dan orang yg beruntung.

Atau "ja'alanallahu minal 'aidin ilal fithrati wal faizin fiddunya wal akhirah", semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yg kembali kepada kesucian dan orang yg beruntung di dunia dan akhirat.

Jadi lafadz minal aidin wal faizin adalah potongan dari sebuah doa, dan mohon maaf lahir batin adalah ungkapan permohonan maaf, ini yg perlu diluruskan dan dijelaskan kepada masyarakat, yg satu doa dan yg satu lagi permohonan maaf.

Adapun lafadz taqabbalallahu minna wa minkum adalah merupakan lafadz doa yg intinya kita saling berdoa supaya semua amal ibadah yg kita lakukan diterima Allah SWT.

Lafadz doa ini yg pernah diucapkan Rasulullah SAW ketika bertemu para sahabat di hari raya, seperti yg diriwayatkan oleh Al Wasilah. Dan diriwayatkan bahwa para sahabat ketika bertemu satu sama lain di hari raya mengucapkan: Taqabbalallahu minna wa minka.

Jadi sebenarnya yg lebih ditekankan adalah tahniah, ucapan selamat serta doa agar amal ibadah terkabul, bukan bermaaf-maafan.

Tapi meski tidak diajarkan atau dianjurkan secara khusus, namun bermaaf-maafan dan silaturrahim di hari lebaran juga tidak dilarang, boleh-boleh saja, dan merupakan adat kebiasaan yg baik dan insya Allah tidaj bertentangan dengan syariat Islam.

Akhirnya untuk menutup tulisan ini saya mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Shiyamana Wa Shiyamakum, Ja'alanallahu Minal 'Aidin ilal Fithrati Wal Faizin Fiddunya Wal Akhirah, Mohon Maaf Lahir dan Batin. (Rahmani Nor'id dan keluarga).

Arti Penting Mencatat dengan Teliti





Sebelum kedatangan Imam Asy-Syafi’i (150-204 H) ke Kairo, adalah tiga orang murid Imam Malik ibn Anas (93-185 H) yang menjadi rujukan kemusykilan penduduk Mesir dan Afrika pada umumnya pada zaman itu. Mereka adalah Abdullah ibn Wahab (125-197 H), Abdurrahman ibn Al-Qasim (128-191 H), dan Asyhab ibn Abdil Aziz Al-Qaisi (150-204 H).

Suatu hari, antara Imam Asyhab dan Imam Ibn Al-Qasim terjadi perbedaan pendapat tajam atas suatu persoalan. Maka berkatalah Asyhab, “Aku mendengar Malik berkata begini.” Ibn Al-Qasim menimpali, “Justru aku mendengar Malik tidak berkata seperti itu, melainkan begini.” “Aku bersumpah,” ujar Asyhab yg termuda itu dengan suara meninggi, “bahwa ucapanmu itu keliru!” “Dan akupun bersumpah,” sahut Ibn Al-Qasim, “bahwa engkau salah!”.