Para
orientalis dan sejarawan Barat yang anti Islam seringkali menghujamkan
tuduhan keji kepada ilmu fiqih dan para ulama fiqih. Mereka menuduh
bahwa ilmu fiqih tidak lebih sekedar hasil karya para ulama, yang
ditulis jauh sepeninggal Rasulullah SAW dan para khulafa’ rasyidah.
Lebih jauh mereka bahkan sampai hati mencemooh para ulama itu sebagai para penjilat penguasa, yang dibayar dengan harga yang pantas untuk meligitimasi kezaliman dan keangkara-murkaan para penindas rakyat.
Mereka sering menghubungkan kelahiran ilmu fiqih dengan masa kehidupan
empat imam mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah (70-150 H), Al-Imam Malik
(93-179 H), Al-Imam Asy-Syafi’I (150-202 H) dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal
(164 – 241 H).
Tuduhan seperti ini -sayangnya- disenangi oleh
banyak mahasiswa muslim yang mendapat beasiswa untuk belajar di negeri
para orientalis itu. Dan tanpa punya rasa kritis dan cemburu sedikit
pun, para mahasiwa yang lugu itu pun menjadi pemuja dan pembela
pemikiran para orientalis, bahkan membanggakan diri sebagai murid dan
kader mereka.
Ilmu fiqih tidak punya latar belakang kisah
penjilatan kepada para penguasa. Keempat imam mazhab itu, tidak ada satu
pun yang menjadi mufti suatu kerajaan, atau menjadi penasehat khalifah
tertentu. Malah Imam Malik menolak ketika kitab Al-Muwaththa' karyanya
ingin dijadikan kitab resmi negara oleh khalifah. Bahkan beliau pun
menolak datang ke istana khalifah ketika khalifah meminta kesediaan
beliau untuk mengajar ke istana. Sebaliknya, beliau malah memerintahkan
khalifah yang datang berguru ke masjid Nabawi.
Ilmu fiqih bukan
ilmu yang baru muncul di masa berikutnya. Ilmu tersebut sudah ada di
masa Rasulullah SAW masih hidup. Fiqih lahir, tumbuh dan berkembang
bersama dengan perjalanan dakwah Rasulullah SAW dan para shahabat.
Karena itu kita mengenal istilah fiqih para shahabat, misalnya Fiqih Abu
Bakar, Fiqih Umar, Fiqih Ustman dan juga Fiqih Ali. Sebab mereka
ternyata memang ahli fiqih, yang juga sekaligus menjadi pengganti
Rasulullah SAW dalam memimpin umat.
Ilmu fiqih juga bukan
semata-mata hasil dari mengarang seenak perut. Sumber ilmu fiqih juga
bukan otak dan logika manusia belaka. Tetapi sumber Ilmu Fiqih murni
Al-Quran dan As-Sunnah yang diterima lewat sanad yang shahih, dan
kemudian dipahami dengan manhaj yang telah dibakukan secara ilmiyah dan
diterima oleh seluruh umat Islam.
Memakai Hadits dan Membuang Fiqih
Akibat tidak mengerti dan tidak pernah belajar ilmu fiqih, banyak
kalangan yang juga merasa seolah-olah lebih baik belajar hadits saja dan
tidak perlu belajar ilmu fiqih. Alasannya, kalau hadits itu perkataan
dan perbuatan nabi, sedangkan fiqih itu karangan manusia biasa.
Sayangnya, masih terlalu banyak orang yang berpikir seperti itu.
Akhirnya, mereka hanya pakai hadits dan membuang jauh-jauh ilmu fiqih.
Dan akibatnya, jadilah mereka zahiri-zahiri abad 21, yang berfatwa tanpa
ilmu.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits beliau yang shahih :
إِنّ الله لا يقْبِضُ العِلْم اِنْتِزاعًا ينْتزِعُهُ مِن العِبادِ ولكِنْ
يقْبِضُ العِلْم بِقبْضِ العُلماء حتىّ إِذالم يُبْقِ عالِمًا اِتّخذ
النّاسُ رُءُوسًا جُهّالاً فسُئِلُوا فأفْتوْا بِغيْرِ عِلْمٍ فضلُّوا
وأضلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara
tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan
dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari
ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin.
Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka
berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hadits ini menceritakan bahwa umat Islam yang telah
kehilangan para ulama, lantas mereka menjadikan para pemimpin yang
bodoh dan tidak punya ilmu sebagai tempat untuk merujuk dan bertanya
masalah agama. Alih-alih mendapat petunjuk, yang terjadi justru mereka
semakin jauh dari kebenaran, bahkan sesat dan malah menyesatkan banyak
orang.
Mereka dikatakan bodoh, sesat dan menyesatkan bukan
karena mereka tidak pakai hadits shahih, tetapi karena mereka tidak tahu
kandungan tiap hadits yang mereka pakai, mereka hanya tahu zahir nash,
tapi tidak tahu kenapa keluar hadits itu, dimana hadits itu disampaikan,
kepada siapa Rasulullah SAW menyampaikan hadits ini, dan seperti
realitas serta kondisi sosial budaya yang ada di masa beliau.
Lebih parah lagi, mereka menafikan adanya hadits shahih yang lain, yang
ternyata secara lahiryah menunjukkan 'pertentangan' dengan hadits yang
dibaca. Padahal hadits yang lain itu bersumber dari Rasulullah SAW juga.
Alih-alih melakukan thariqatul-jam'i, yang dilakukan adalah sistem
gugur. Kalau ada dua hadits shahih bertentangan isinya, maka salah
satunya dibuang. La haula wala quwwata illa billah.
Aneh sekali
sistem gugur ini. Bagaimana mungkin mereka mengaku ingin menjalankan
hadits nabi, tetapi dalam prakteknya hanya mengambil satu hadits yang
mereka sukai, sambil membuang hadits nabi yang lain yang tidak mereka
sukai. Seolah-olah hadits yang benar itu hanya satu, kalau ada hadits
lain dan tidak sesuai dengan 'selera' dan 'nafsu' pribadi, maka hadits
lain yang sebenarnya shahih pun bisa dibuang jauh-jauh.
Tindakan ini sama saja dengan menentang dan menginjak-injak hadits
Rasulullah SAW, cuma dalam versi yang lain. Kelihatannya membela hadits,
tetapi hakikatnya malah kafir kepada hadits.
Lalu bagaimana agar kita bisa menerima semua hadits dari Rasulullah SAW dan tidak menginjak-injaknya?
Mudah saja, pahami semua hadits nabi lewat frame ilmu fiqih. Karena
ilmu fiqih pada hakikatnya tidak lain adalah sebuah metodologi bagaimana
cara kita memahami semua nash, baik hadits mau pun Al-Quran, kemudian
kita menarik kesimpulan hukumnya.
Jadi tidak ada ilmu fiqih
kalau tidak pakai hadits, karena fiqih itu adalah proses bagaimana
memahami hadits dengan benar, dimana kita harus menggunakan metodologi
dengan benar. Seluruh ulama fiqih otomatis mereka adalah ahli hadits.
Selamat belajar ilmu fiqih. Semoga menjadi ulama yang ilmunya
bermanfaat buat umat, serta mengalirkan pahala yang tidak pernah
berhenti meski kita sudah berada di alam barzakh. Amien...
Source: FP Rumah Fiqih Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar